Jumat, 14 September 2012

Bertempur di Tambelang

Ini video gue sama patner gua citra waktu lomba PMR tandu darurat
Dan akhirnya kita yang jadi JUARA 1 nya Lohhhh ...
Liat gerakan kita berdua di awal deh, bisa samaan gitu .. Ayooo liatt ..


DevilAngel

Ini cerita yang gua suka banget dari temen fb gua
dia ngfans banget sama couple agni dan cakka idola cilik, jadi perannya mereka
keep enjoyed ^_~




Sebelum pindah ke Jakarta, agni memang sempat bersekolah di Jogja dan tinggal disana bersama eyangnya. Sementara ayah dan bundanya tinggal di Jakarta. Orangtua agni memang pengusaha terkenal di Jakarta. Makadari itu, kesibukan orangtuanya kadang membuat agni jengkel sendiri. Jarang sekali ayah dan bundanya itu datang menjenguknya di Jogja. Mereka sibuk dengan bisnisnya. Tapi, sering sekali mereka menelpon agni sekedar mengetahui keadaannya. Tapi itu sama sekali tak membuat agni puas akan perhatian orangtuanya. Hingga suatu hari, ayahnya memutuskan untuk meminta agni pindah ke Jakarta dan tinggal bersama mereka. Agni tau, itu mungkin akan sama saja seperti dirinya di Jogja yang jarang sekali bertemu dengan ayah bundanya, tapi mungkin dengan menyetujui pindah ke Jakarta, seenggaknya agni bisa tinggal bersama mereka.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
  ‘Budi bangsa’
Agni masih memikirkan bagaimana sekolah itu. Sekolah barunya di Jakarta. Sebenarnya, ini adalah sekolah yang ditunjuk tantenya karna anaknya yaitu sivia, bersekolah disana juga. Agni dan sivia memang sudah akrab dari kecil. hanya saja karna saudara perempuannya itu tinggal di Jakarta, agni jadi jarang sekali bertemu dengannya.

  “AGNIIIIIIII!!!” jerit seseorang dari teras depan rumah agni.

Agni yang sedang sarapan, hampir tersedak mendengar jeritan itu.
  ‘Dia ngga pernah berubah’ pikir agni.

Dari ruang tamu, munculah seorang gadis seumuran agni dengan seragam yang sama seperti yang dikenakannya saat itu. Dengan wajah yang riang, gadis itu menghampirinya kemudian memeluknya. Agni sampai kewalahan sendiri, hampir saja ia tersedak untuk yang kedua kalinya, karna saat itu ia masih meneguk segelas susu hangat. Gadis itupun buru-buru melepaskan pelukannya ketika agni benar-benar tersedak karena ulahnya.

  “aduhh, sorry ag, gak sengaja” kata via -gadis itu- sambil mengusap-ngusap punggung agni.
  “lo rempong amet sih jadi orang. Dari dulu gak pernah berubah lo, vi” kata agni sedikit terengah-engah.
  “hehehe kan gue udah minta maaf, ag” via malah nyengir kuda. Agni menghela nafasnya pelan.
  “lo sekarang berangkat bareng gue kan?” Tanya agni berganti topik.
  “iyalah. Ngapain juga gue jauh-jauh kesini kalo bukan jemput lo”
  “ya udah deh, berangkat sekarang aja yuk!” ajak agni sambil menyeka mulutnya dengan tissue. Ia kemudian meraih tasnya dan bersiap untuk berangkat.
  “okeh. Tp emangnya lo gak pamit dulu?” Tanya via sebelum melangkah.
  “sama siapa? Udah gak ada orang” kata agni yang melenggang kearah pintu depan. Via menyusulnya.

Tak sampai tiga menit, mobil sivia pun melesat meninggalkan pekarangan rumah agni yang memang sudah terlihat sepi. Di perjalanan, agni tak banyak mengeluarkan suara. Karna saat itu, hanya ada suara via yang meracau tanpa henti. Mulai dari pintu mobil ditutup, via sudah mengambil ancang-ancang bercerita. Awalnya, agni memang menanggapinya, karna via bercerita tentang sekolahnya yang kini akan menjadi sekolah agni juga. Tapi, yang namanya via, kalau ngga cerita dari A sampai Z rasanya tidak pernah afdol buat dia. Agni hanya menanggapinya seputar keadaannya saja. Selebihnya, ia melipat telinganya. Ia hanya merasa cukup tau saja. Kesananya, biar agni yang menilai bagaimana sekolah barunya itu.

Mobil sivia kini sudah terparkir. Mereka keluar secara bersamaan. Agni nampak memperhatikan keadaan sekitar, sementara via masih belum selesai dengan kicauannya. Ketika sampai di lapangan, bel terdengar nyaring, tanda pelajaran pertama akan segera di mulai. Via yang ikut mendengarnya sontak berhenti bercerita.

  “aduh, gue kan hari ini ulangan matematika! Mampus!!” teriak via.
  “ag, gue duluan ke kelas ya. Sorry gue gak bisa nganterin lo. Ruang kepsek udah deket kok. Yang itu!” kata via kemudian menunjuk kearah bangunan lantai tiga disebelah kanan lapangan.
  “bye agni sayang. Hati-hati yaa!!!” kata via sambil berlari menuju ke kelasnya yang rupanya terletak di bangunan yang berbeda.

Agni hanya menatap saudara perempuannya itu geli. Setelah via menghilang memasuki gedung itu, agni berbalik badan. Dan batapa kagetnya agni saat itu mendapati segerombolan anak laki-laki yang berdiri menghalangi jalannya.

  “anak baru ya?” Tanya salah seorang anak laki-laki itu.
  “bukan” jawab agni setelah ia terdiam beberapa detik.
  “kita tau ya, mana anak baru dan mana yang bukan. Jangan boong deh lo!” sahut anak laki-laki lainnya.

Jantung agni sedikit berdegup cepat. Ia merasa bukan seharusnya sekarang dia di plonco sebagai anak baru. Ia hanya belum siap.

Tiba-tiba segerombolan anak laki-laki itu berganti posisi, mereka membagi formasi menjadi dua bagian. Seolah memberikan jalur untuk orang yang kini sedang berjalan kearah agni. Anak laki-laki itu terlihat berjalan tenang melewati jalur yang sepertinya memang disediakan untuknya. Ditangan kanannya terlihat memegang sebuah tongkat baseball yang ujungnya disanggahkan dipundak kanannya. Agni mengakui kalau anak laki-laki yang sedang menghampirinya ini memang tampak ganteng. Tapi ia heran, kenapa orang ini terlihat seperti bos. Sungguh menjijikan.

  “pindahan dari mana?” Tanya anak laki-laki itu setelah tepat berada dihadapan agni.

Sebenarnya agni tak mau menjawab dan menghiraukan laki-laki ini. Tapi, entah kenapa tatapannya begitu tajam seolah akan menusuk manik matanya.

  “jogja” jawab agni seadanya. Ia benar-benar ingin segera pergi dari tempat itu.
  “ngapain jauh-jauh dari jogja pindah kesini?” Tanya laki-laki itu seolah ingin tau semuanya. Agni yang sudah tak tahan, mencoba untuk mengacuhkannya.
  “bukan urusan lo” jawab agni.

Benar-benar tak disangka, begitu mendengar jawaban agni tadi, anak laki-laki itu tersenyum tipis. Kemudian, berjalan perlahan mengelilingi tubuh agni. Ia tampak memutar-mutar tongkat baseballnya seperti sedang pemanasan. Jantung agni kembali berdegup. Lebih cepat dari sebelumnya. Anak laki-laki itu kemudian berhenti dihadapan agni dan mencondongkan wajahnya mendekati wajah agni. Agni terlihat sedikit menghindar.

  “bagus. Gue suka cewek berani kaya lo” kata anak laki-laki itu. Agni mengernyitkan dahi.
  “kelas berapa?” tanyanya lagi sambil menarik wajahnya menjauh dari agni.
  “12”
  “okee. See ya di kelas”
  “belum tentu juga kita sekelas” ceplos agni.

Anak laki-laki yang tadinya hendak berbalik badan, mengurungkan niatnya begitu mendengar ucapan agni. Ia kembali menatap manic mata agni, lalu tersenyum.

  “liat aja nanti” katanya kemudian berlalu diikuti gerombolan anak-anak tadi di belakangnya.

Entah kenapa, agni begitu jengkel dengan tatapannya. Senyumnya manis, tapi begitu pahit untuk diartikan. Tanpa peduli lebih lama, agni langsung pergi menuju ruang kepala sekolah yang memang menjadi tujuan pertamanya.

Di sisi lain, ternyata anak laki-laki beserta CS-nya tengah memperhatikan agni dari kejauhan.

  “jangan ada yang ganggu dia” ucapnya.
  “dia milik gue!” lanjutnya lagi.
  “okee bosss!!” jawab anak-anak lainnya serempak.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

  “nah, ini adalah kelasmu, nak” ucap pak kepala sekolah sambil berhenti tepat di depan pintu kelas XII ipa 7.

Agni terlihat sedikit ragu. Tapi, kemudian kepala sekolah itupun mengajaknya masuk. Anak-anak yang tadinya ramai, tiba-tiba terdiam begitu menyadari kehadiran agni. Agni berusaha mencari keberadaan via di kelas itu, siapa tau saja dia sekelas dengan via. Tapi, begitu tatapannya berhenti di bangku paling ujung, matanya seketika membulat. Benar-benar tak menyangka bisa sekelas dengan laki-laki yang sempat bertemu di lapangan tadi, begitu juga dengan gerombolannya. Laki-laki itu tampak melambaikan tangannya sambil tersenyum manis menjijikan. Agni menghela nafas berat. Kemudian ia menoleh kearah kepala sekolahnya.

  “pak, saya boleh pindah kelas ngga?” Tanyanya yang sontak membuat seisi kelas tertawa.
  “bukannya tidak boleh. Tapi kelas lain sudah mencukupi kapasitas. Jadi kamu tetap dikelas ini” ucap pak kepala sekolah tersebut. Agni sedikit kecewa mendengarnya.
  “sebaiknya sekarang perkenalkan dirimu” kata pak kepala sekolah lagi.

Dengan sedikit kecewa, agnipun mengangguk. Kemudian ia menatap semua anak-anak kelas itu. Masing-masing dari mereka menunjukkan ekspresi yang berbeda. Anak laki-laki malah menggodanya, sedangkan anak perempuan ada yang cuek, jutek, bahkan sinis ketika menatapnya.

  “nama saya Agni. Pindahan dari Jogja” ucapnya sedikit tanpa jeda.
  “udah? Gitu doang? Gak ada yang lain?” teriak salah satu anak laki-laki, Ray.
  “maunya apa? Tanggal lahir, zodiac, hoby, cita-cita, alamat rumah, e-mail, nomer handphone?” kata agni jengkel.
  “wah boleh juga tuh. Terutama sih nomer hape sama alamat rumah paling penting” teriak goldi.
  “paling juga si Goldi ntar datang kerumah lo, terus minta makanan sisa!! hahhaaha” timpal Gabriel yang iringi gelak tawa yang lainnya.

Agni sebenarnya risih mendengarnya. Tapi ketika itu, ia tak sengaja menangkap sosok laki-laki itu hanya terdiam sambil tersenyum simpul. Tidak seperti anak-anak lainnya. Agni jadi heran sendiri.

  “sudah-sudah! Agni, silahkan kamu cari tempat dudukmu. Selamat belajar” ucap pak kepala sekolah sambil berlalu meninggalkan kelas itu.

Seketika, kelas itupun kembali ramai. Entah karna kehadiran agni yang membuat rusuh anak-anak, atau memang kelas ini selalu ramai setiap hari? Agni juga tidak tau.

  “sayyy, duduk sini ajaa!” panggil Ray sambil menunjukkan bangku yang berada disamping ‘laki-laki’ itu.

Agni tampak ragu. Ia malah menatap sekelilingnya, ternyata semua bangku sudah terisi.

  ‘ya ampun’ keluh agni dalam hati. Mau tak mau agni mesti duduk sebangku dengan laki-laki itu.

Agni menghampiri tempat duduknya. Kemudian duduk tak bergairah. Ia berusaha untuk bersikap sebiasa mungkin. Ia menatap sekitarnya, kemudian ia mencoba tersenyum ramah pada kaum hawa yang menatapnya tadi dengan sinis, tapi mereka malah membuang muka begitu agni mencoba tersenyum ramah.

  “cuekin aja. Zahra emang suka sirik kalo ada yang lebih cakep” kata laki-laki disamping agni.
  Agnipun menoleh.
  “gue cakka!” kata anak laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya.
  Agni sedikit ragu untuk menyambut uluran tangannya. Tapi akhirnya ia menjabatnya juga.
  “agni” ucapnya.
  “gue udah tau. Tadi kan lo bilang di depan” kata cakka. Agni mendengus.
  “yakali elo ngga denger. Gaada salahnya gue ulangin” kata agni yang membuat cakka tersenyum simpul.

Cakka pun beranjak dari tempat duduknya sambil menenteng tongkat baseballnya dengan diiringi para cs-nya. Sepertinya dia memang ketua geng disini.

  “eh, lo mau kemana?” teriak agni, begitu cakka sampai di depan pintu kelas.
  “ini kan masih jam pelajaran” lanjut agni. Cakka menoleh kepadanya.
  “lo liat ada pelajaran?” Tanya cakka.
  Agni melirik kearah tempat guru didepan kelas, tak ada siapapun disitu. Sekali lagi, cakka hanya tersenyum. Kali ini terlihat seperti ejekan. Kemudian ia berlalu bersama anak gengnya. Agni hanya merengut.
  “murid macam apa tuh anak? Siapa tau aja gurunya telat. Seenaknya aja keluar-keluar kelas” gerutu agni.
  “dia emang biasa kok kaya gitu. Nyantai aja. Guru juga gak bakal berani marahin dia” kata anak perempuan dibarisan depan yang kini menghampirinya.
  “gue Raissa. Panggil aja acha” katanya sambil duduk diatas meja agni.
  “emang dia siapa? Kaya anak yang paling berkuasa aja” kata agni heran.
  “ntar juga lo tau sendiri kok” kata acha sambil tersenyum.
  “eh, lo kok bisa pindah kesini sih? Padahal kan tanggung Cuma setahun doang” Tanya acha kemudian.
  “disuruh pindah aja sama ayah” jawab agni ramah. Sementara acha hanya mengangguk mengerti.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

  “pasti elo kan yang kemaren berani ngebocorin ban motornya si boss?!! Ngaku gak lo?” teriak goldi dihadapan seorang anak kelas sebelas ditengah lapang.

Goldi memang mewakili cakka untuk menghakimi anak itu. Sementara cakka duduk santai sambil memainkan tongkat baseballnya. Cakka memang terkenal cuek, seenaknya, dan semua aturan dia ‘berlaku’, dia tidak suka di bantah, dia tidak suka di tantang, dia tidak suka dengan orang pengecut, dan dia tidak suka ada orang yang mencampuri urusannya tanpa seizin dia.

Sementara goldi sedang menghakimi anak itu, anggota lainnya terlihat berdiri membuat pagar betis disekelilingnya. Anak itu tidak sedikitpun bersuara. Bahkan bercicitpun ia terlihat tak berani. Ia hanya menunduk.

  “cepetan ngaku! Mau gue gampar lo, hah??!” ancam goldi.
  “a.. ampun kak. Saya minta maaf. S..saya janji gak akan mengulanginya lagi” kata anak itu terbata-bata.
Mendengar jawaban anak itu, goldi menghampiri cakka.
   “dia yang ngelakuinnya bos! Mau diapain tuh anak?” lapor goldi.
Cakka yang tadi duduk santai, kini beranjak dan menghampiri ke tengah lapangan.
  “kalo elo, emang gasuka sama gue, bilang langsung sama gue! Mungkin nasib lo gak akan kaya gini” kata cakka sambil terus memutar-mutar tongkat baseballnya. Anak itu semakin gemetar dibuatnya.
  “lo tau? Gue gak suka orang pengecut. Lo bisa aja bocorin ban motor gue, tapi gue bisa bikin kepala lo bocor sekarang juga…” kata cakka yang kini mengayun-ayunkan tongkat baseballnya tepat dikepala anak itu. Berancang-ancang mencari jarak yang tepat untuk menghantamnya.

Saat itu, waktunya istirahat. Agni yang sibuk pontang-panting mencari keberadaan via, dikegetkan dengan kejadian yang sedang berlangsung dilapangan.

Cakka yang tengah sibuk menentukan jarak saat itu, tiba-tiba berhenti dan menurunkan tongkatnya sejenak. Kemudian dia berbalik menghadap anggotanya yang berada di belakangnya.

  “kira-kira lo semua pada setuju gak kalo nih anak gue bikin kepalanya bocor detik ini juga?” Tanya cakka.
  “hajar aja boss!”
  “kita bersedia kok nonton aksi kepala bocor kena hantam tongkat baseball! haha”

  “STOOOPPP!!!” tiba-tiba saja ada yang berteriak dibelakang cakka. Cakkapun menoleh.
  “lo mau ngapain?” Tanya agni yang kini sudah merentangkan tangannya seolah melindungi anak tadi.
  “mungkin lebih baik lo pergi aja dari sini!” kata cakka santai.
  “tapi elo mau mukul kepala dia pake itu” kata agni sambil melirik tongkat baseball
  “yayaya dan matahari akan terbenam di barat!” kata cakka seolah dengan memukul kepala orang memakai tongkat baseball itu adalah hal biasa.
  “gila ya, lo!” teriak agni.
  Mendengar itu, cakka kembali tersenyum, mengangkat tongkatnya perlahan dan mengulangi hal yang sama dengan yang dilakukannya tadi pada anak itu. Tapi kali ini tepat disamping kepala agni. Agni memejamkan matanya.
  “lo emang cantik, tapi lo mesti sabar nunggu giliran” kata cakka kemudian menurunkan tongkatnya.
Agni membuka matanya perlahan. Cakka masih terlihat staycool dihadapannya.
  “lo mesti beruntung karna hari ini lo ditolongin sama cewek. Tapi gak ada lain kali” kata cakka sambil menatap tajam kearah anak laki-laki yang ada dibelakang agni. Kemudian dia pergi diikuti anak-anak lainnya.

Otot agni yang tadinya menegang, kini tiba-tiba kembali melemas.
  “lo gak apa-apa kan?” kata agni pada anak itu.
Anak itu mendengus kesal.
  “ngapain lo nolongin gue? Gara-gara lo gue jadi banci di mata mereka” bentak anak itu sambil berlalu pergi. Agni jadi bingung sendiri dibuatnya.

  “AGNIII!!” teriak via dari pinggir lapang. Agni menoleh kemudian menghampirinya.
  “lo gak apa-apa? Aduuh ngapain juga sih lo cari gara-gara sama cakka? Kan tadi gue udah bilang” kata via.
  “kapan lo bilang kaya gitu?” Tanya agni.
  “tadi pagi pas di mobil. Emangnya lo gak denger?” kata via. Agni terdiam.
  “ya udahlah. Sebodo amat mau gimana. Udah terlanjur. Palingan juga gue mati besok!” kata agni pasrah.
***
Cakka memarkirkan motornya begitu ia memasuki gerbang rumahnya. Rumahnya memang tampak selalu sepi. Ia hanya tinggal bersama ayahnya, semenjak orangtuanya berpisah. Ayahnya memiliki beberapa perusahaan terkenal di Jakarta. Makadari itu ayahnya disibukkan dengan pekerjaannya, sementara cakka sendiri sudah terbiasa menjalani hidup seperti ini. Cakka memang bisa memiliki segalanya, tapi hanya satu yang tak bisa ia dapatkan, yaitu kasih sayang yang benar-benar utuh. Selama ini mungkin ia hanya merasa ditinggal dan di telantarkan dengan harta yang berlimpah yang memang mungkin tak ia butuhkan sepenuhnya.

Satu demi satu anak tangga ia tapaki. Dari wajahnya, cakka terlihat sedang berpikir. Memikirkan sesuatu yang benar-benar sedang membelenggu di otaknya. Selama ini ia tidak pernah terlihat seperti itu. Biasanya ia tidak pernah peduli dengan apapun. Tapi kali ini, entahlah apa yang bisa merubahnya.

Pintu kamarnya perlahan ia buka. Ia taruh tasnya diatas meja. Ia rebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Ia pandang langit-langit kamarnya. Benar-benar membuatnya berpikir. Semakin ia telaah pikirannya itu, semakin ia tidak tau jawabannya. Tak lama kemudian, cakka bangkit dari rebahnya. Duduk sambil memeluk kedua lututnya.

  “kenapa tatapan dia beda sih dari cewek lain? Heran” gumam cakka.
  “begitu polos. Tapi apa dia bener sepolos itu?” kata cakka yang terus bergumam.
  “dia udah berani campurin urusan gue!”
  Tiba-tiba saja cakka mengulas senyumnya. Penuh arti.
  “dia mesti dapet pelajaran!!” ucapnya kemudian.
***

Hari ini agni berangkat sendiri. Lagipula ia sudah tau jalan menuju sekolahnya. Kalau menunggu via, menurut agni kelamaan. Via itu dandannya seabad. Bisa tua duluan Cuma gara-gara nunggu via doang. Sebenarnya sih via juga oke-oke aja agni mau bareng atau ngga. So, gak ada masalah untuk ini.

Pagi itu, koridor sekolah masih sepi. Hanya ada beberapa anak saja yang baru datang seperti agni. Ketika agni sampai di persimpangan koridor dan hendak berbelok kearah kelasnya, tiba-tiba saja ada yang melintas kilat tepat didepan wajah agni. Benda itu langsung menghantam tembok yang ada disebelah kanannya. Jantung agni sempat berhenti sejenak begitu mengetahui benda itu adalah sebuah tongkat baseball yang kini sedang melintang tepat dihadapannya. Mungkin jika hantaman itu meleset sedikit saja, agni tidak tau akan jadi seperti apa wajahnya sekarang.

Agni terlihat menegang. Kemudian ia menoleh kearah kirinya. Kearah orang yang hampir saja mencelakainya. Disana terlihat cakka yang sedang tersenyum manis tanpa terlihat merasa berdosa. Cakka mengangkat sudut bibirnya, kemudian mendorong tubuh agni merapat kearah tembok. Agni sedikit meringis. Setelah itu cakka membuang tongkatnya itu kesembarang arah. Terdengar bunyi berdebam dari tongkat itu. Karna memang cakka melemparnya tidak dengan cara yang halus.

  “kenapa? Lo takut sama tongkat itu?” Tanya cakka sambil tersenyum.
  “lo mau apa?” Tanya agni.
  “gue mau nyapa lo doang, kok”
  “jadi gini, cara lo nyapa cewek?”
  “gak semua cewek gue sapa. Tapi Cuma inceran gue doang” katanya sambil tersenyum.
  Deg! Entah kenapa mendengar ucapan cakka tadi, agni tiba-tiba merasa sesak.

Perlahan cakka mendekati agni. Ia tapakkan kedua tangannya pada tembok. Membuat agni tidak bisa bergerak di dalam kurungan tangan cakka dan tembok yang seakan menghimpitnya. Cakka mencondongkan wajahnya kedepan. Jarak wajah mereka kini hanya beberapa senti. Dan lagi-lagi cakka tersenyum.

  “mau apa lo?” Tanya agni.
  “kalo cowok udah kaya gini, tandanya mau ngapain?” Tanya cakka pelan. Agni terdiam. Kali ini ia benar-benar tidak bisa berbuat sesuatu untuk menjauhkan jarak wajah cakka dari wajahnya.

Tiba-tiba dari persimpangan koridor itu muncul seorang anak-anak laki-laki yang baru datang. Ia malah tersenyum geli melihat cakka dan agni saat itu.

  “pagi gini, udah nyosor aja lo, kka! Haha” kata iel. Cakka menyambutnya dengan menyunggingkan senyumnya.

Setelah itu, suasana kembali sepi. Iel berlalu begitu saja. Agni jengkel melihatnya. Bukannya menolong, malah ikut-ikutan bikin agni mati.

  “lo mau apasih, kka?” Tanya agni lagi berusaha untuk setenang mungkin.
  “menurut lo?”
   “jangan bilang lo mau cium gue!”

Mendengar jawaban agni yang seperti itu, cakka langsung terbahak. Agni mengerutkan dahi melihatnya.
  “kenapa sekarang lo ketawa?”
Cakka kembali mendekatkan wajahnya pada agni.
  “gue gatau kalo elo itu bener-bener polos, atau Cuma pura-pura. Yang jelas gue bakal cari tau” bisik cakka pada telinga agni.

 Kemudian cakka menjauhkan badannya dan mengambil tongkat baseballnya yang sempat ia lempar semabarangan. Kemudian ia menoleh kearah agni sambil kembali tersenyum. Agni bersumpah, sekarang ia sangat benci senyuman itu. Detik berikutnya cakka berlalu sambil menenteng tongkatnya. Setelah cakka benar-benar menghilang dari pandangannya, agni terkulai lemas sambil menyandarkan tubuhnya pada tembok dibelakangnya. Kemudian ia menghembuskan nafas sambil mengusap keringat yang tiba-tiba muncul dipelipisnya.
***

Kejadian kemarin pagi, cukup membuat agni berhati-hati dengan cakka. Sekarang saja, selama pelajaran berlangsung, ia sama sekali tak berani menoleh kearah cakka. Ia tahu, kini cakka tidak sedang memperhatikan pelajaran melainkan dirinya.

Ketika istirahat tiba, agni berniat untuk keluar kelas mencari via. Tapi, ketika itu ia tak sengaja menjatuhkan buku cakka yang memang posisinya berada dipinggir meja. Agni memungutnya. Kemudian ia menoleh kearah cakka. Cakka terlihat sedang tertawa bersama teman-temannya. Entah mereka sedang membicarakan apa, agni tidak tahu. Yang jelas, sepertinya cakka tidak menghiraukan agni saat itu, begitu pula dengan teman-temannya yang lain.

Agni melirik buku tulis itu. Tertera ‘Cakka Kawekas Nuraga’ pada label namanya. Buku yang awalnya hanya dikira agni isinya Cuma corat-coret atau bahkan putih polos itu, nyatanya membuat agni benar-benar takjub dengan isinya. Sketsa wajahnya yang dilihat dari sudut pandang cakka, terlukis indah di buku itu. Ternyata ini yang dikerjakan cakka saat jam pelajaran tadi. Pantas saja ia terlihat lebih memperhatikan wajah agni ketimbang pelajaran yang sedang berlangsung.

  “kka…?” ucap agni. Cakkapun menoleh.
  “itu buat lo. Hadiah selamat datang” kata cakka kemudian setelah menyadari apa yang dipegang agni sekarang.
  “Masa lo ngasih agni hadiah Cuma kertas doang sih bos? dikira menang lomba 17 agustusan kali yak” celetuk goldi.
  “yee dasar lo! Liat dong isinya. Gimana sih?!” kata ray sambil menyikut tangan goldi. Tak peduli goldi meringis kesakitan dihadapannya. Agni tersenyum melihatnya.
  “thanks ya, kka” ucap agni. Dan Cakka hanya tersenyum mendengarnya.
***

Hari ini adalah pelajaran olahraga di kelas agni. Gurunya tidak masuk. Jadi, anak-anak kelasnya memilih untuk berolahraga sendiri. Sebagian dari anak laki-laki ada yang bermain bola. Sebagiannya lagi, yaitu gerombolannya cakka cs sedang nongkrong sambil tertawa-tawa di bawah pohon rindang tempat mereka biasa berkumpul. Tapi disana tidak terlihat sosok cakka. Entah dimana dia sekarang, tidak ada yang mengetahuinya. Sementara anak perempuan ada yang bersantai-santai, adapula yang hanya melakukan pemanasan.

Agni yang bingung ingin bergabung dengan siapa, memutuskan untuk kembali masuk kelas. Ketika baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara seseorang.

  “heh anak baru!!” teriak suara itu. Agni menoleh. Ternyata Zahra yang memanggilnya.
  “kenapa?” Tanya agni.
  “lo nyadar gak sih sama diri lo? Tampang standar, body juga standar. Emangnya lo gak heran kenapa cakka bisa ngincer elo?” kata Zahra dengan sinisnya.
  “gue gatau. Itu sih urusan dia” jawab agni.
  “asal lo tau aja ya, gue bener-bener gak habis pikir saat cakka nyuruh gue pindah tempat duduk demi bisa duduk sebangku sama lo!” Zahra semakin terlihat mengeraskan rahangnya.
  “jadi itu bangku lo? Ya udah, kalo lo emang mau tukeran tempat duduk gak apa-apa kok” ucap agni.
  “Hh.. siapa juga sih yang mau tukeran tempat duduk sama lo?! Gue gak minat!!” kata Zahra yang kemudian pergi begitu saja. Agni sendiri heran kenapa Zahra sampe semarah itu gara-gara bangku dia yang sekarang ditempatin sama agni. Padahal agni sudah berbaik hati menawarkan bangkunya kembali.

Agni mengurungkan niatnya kembali ke kelas. Ia berjalan menuju toilet. Ketika ia hendak berbelok diujung koridor, agni menghentikan langkahnya. Tak jauh dari koridor tersebut terlihat cakka yang sedang terbaring dibangku taman belakang sekolah sambil menutup matanya dengan lengannya. Sepertinya cakka sedang tidur disana. Karna penasran, agni menghampirinya pelan-pelan.

Setelah sampai didekat bangku taman itu, agni duduk didekat kepala cakka yang memang tersisa cukup untuk didudukinya. Agni memandangi cakka yang sedang tidur saat itu. Ia benar-benar tidak mengerti dengan sikap cowok ini. walau tingkahnya begajulan, tapi agni merasa ada sisi baik dari seorang cakka. Agni mencoba mengulurkan tangannya untuk mengelus kepala cakka. Tapi, tangan agni hanya berhenti diudara, terlihat ragu, agni menarik kembali tangannya. Kemudian agni beralih memandang ke depan. Kembali terngiang ditelinganya semua ucapan Zahra tadi. Agni benar-benar tidak tau maksud cakka berbuat seperti itu padanya.

Agni masih tetap bergeming. Ia tak beranjak sama sekali. Ia masih menunggui cakka di taman itu sementara cakka masih tertidur sampai sekarang. Pelajaran olahraga sudah habis dari tadi. Tapi agni sama sekali tak berniat untuk memasuki kelasnya. Ia lebih memilih disini bersama cakka. Perlahan, agni menyandarkan kepalanya pada batang pohon yang menjalar dibelakang bangku itu dan mulai memejamkan matanya. Sepertinya ia sudah terlalu lelah memikirkan semuanya saat itu. Tak terasa agnipun ikut tertidur.

Tidak berapa lama kemudian, cakka terbangun. Ia mengusap wajahnya perlahan. Menguap sesaat sambil meregangkan otot-otonya. Setelah itu, barulah ia sadar ada seseorang disampingnya. Agni terlihat tidur pulas. Cakka tersenyum melihatnya. Ia menggeser duduknya mendekati agni. Ia tatap wajah agni lekat-lekat.
  “lo manis banget, ag” gumam cakka.
  “sampe sekarang gue belom tau jawaban dari pertanyaan gue tentang diri lo”

Kemudian cakka terdiam. Ia menghela nafasnya. Kembali ia menoleh kearah agni. Perlahan, ia sandarkan kepala agni dibahunya. Mencoba untuk tidak membangunkan agni. Ia mengangkat tangannya kemudian mengelus kepala agni pelan. Cakka benar-benar tidak tau apa yang dilakukannya sekarang, yang jelas ia merasakan ketenangan dalam hatinya.
***

Kini agni sedang duduk diatas balkon kamarnya. Memandangi langit malam yang penuh dengan bintang. Agni menerawang kejadian tadi pagi ketika ia mendapati dirinya tidur dipundak cakka. Saat itu agni sangat bingung untuk berkata apa. Dia salah tingkah. Padahal saat itu cakka bersikap biasa saja begitu tau kalau agni terbangun. Cowok itu terlalu berlagak sok cool dihadapannya. Senyumannya sulit diartikan. Terkadang senyuman dia begitu menyebalkan dimata agni, tapi agni juga tidak bisa membohongi dirinya kalau senyuman cakka juga bisa menyejukkan. Walaupun sedikit.
 Mengingat kejadian tadi pagi, kembali agni teringat akan perkataan zahra. Dia bingung. Cakka tidak pernah bilang secara langsung kalau dirinya mengincar agni. Tapi mengenai bangku yang didudukinya, sapaan tadi pagi, dan sketsa wajah agni yang diberikan padanya, itu semua apakah benar jadi pertanda? Entahlah. Toh sejauh ini sikap cakka itu aneh dimata agni. Mungkin tidak seharusnya agni beranggapan kalau cakka itu menyukainya.

Ketika agni sedang sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Agni meraih ponselnya dari atas meja. Tarnyata dari via.

  “ya, hallo. kenapa, vi?”
  “gpp. Besok lo berangkat bareng gue aja ya? Biar gak kaya tadi pagi lagi” kata via diseberang telepon.
  “udahlah, vi. Lagian mau ngehindar bagaimanapun juga, gue bakalan tetep ketemu sama dia. Kemaren gue kan udah bilang, kalo gue duduk sebangku sama dia”
  “ya ampun, ag. Tabah ya jadi elo! Lo hati-hati aja deh sama dia” ucap via prihatin.
  “lebay deh, lo! Emangnya cakka itu monster kali ya, sampe gue mesti hati-hati gitu”
  “lebih dari monster malah, ag! Lo belum tau sih dia gimana”
  “menurut gue sih dia orangnya panas dingin gak tentu”
  “maksud lo?”
  “gatau. Intinya gue bingung sama dia”
  “terus lo mau gimana sekarang?”
  “gatau. Mungkin ntar gue bisa nilai sendiri cakka itu kaya gimana. Saat ini gue baru bisa nyimpulin kalo senyuman cakka itu menyebalkan”
  “kok gitu?”
  “gatau, vi. Gue bener-bener gatau. Udah deh ya, gue gak mau dibikin bingung Cuma gara-gara cakka doang. Udah ya, bye viaaaaaaaaa!” KLIK. Agni menutup sambungan telponnya.
***
Ketika hendak berbelok memasuki gerbang sekolahnya, Cakka mengerem motornya secara tiba-tiba begitu ada mobil yang menyiap dan berhenti didepannya. Mungkin kini ia sudah menghajar pemilik mobil yang tidak sopan itu kalau saja ia tidak mengenali mobil itu dan juga pemiliknya. Cakka bergeming, pemilik mobil itu keluar. Tampak seorang gadis cantik yang keluar dari mobil tersebut dan kini berjalan menghampiri cakka. Sepertinya gadis itu tidak peduli dengan keadaan mobilnya yang terparkir tepat didepan gerbang Budi Bangsa.

  “gue mau ngomong sama lo” suara lembut gadis itu berhasil membuat cakka tak bergeming lagi.
  “ngomong aja” kata cakka setelah ia membuka kaca helmnya. Sepertinya ia enggan untuk menanggapi gadis ini.
  “lo bisa turun dulu, kan? Please” kata gadis itu. Cakka pun menurtinya. Kemudian ia ditarik gadis itu supaya sedikit menjauh dari anak-anak budi bangsa yang baru datang ke sekolah.
  “gue gak mau putus sama lo” kata gadis itu kemudian.
  Cakka terdiam. Ia melirik kearah mobil gadis itu.
  “lo gak mau beresin mobil lo dulu? Ngalangin jalan tuh!” kata cakka mengedikkan dagunya kearah mobil gadis itu.
  “kka, gak ada yang lebih penting dari ini! Sekarang gue Cuma mau penjelasan dari lo. Lo udah mutusin gue tanpa alesan”
  Cakka tersenyum tipis.
  “apa lo butuh alesan dari gue?” Tanya cakka,
  Gadis itu mengangguk cemas.
  “gue bosen sama lo”
  Raut kekhawatiran itu kini berubah tidak percaya.
  “sesederhana itu?”
  Cakka mengangguk.
  “tapi, kka…”
  “apa perlu ada alesan lain?” Tanya cakka.
  Gadis itu memandangnya makin tak percaya.
  “gue suka sama cewek lain. So, emang sebaiknya kita putus kan?” kata cakka datar.
  Gadis itu merasakan sesak didadanya. Entah bagaimana ia bisa jatuh cinta dengan laki-laki dihadapannya ini, ia juga tidak tau. Setelah dikenalkan diacara makan malam keluarga itu, ia memang merasa cakka itu lain. Laki-laki ini begitu dingin. Tidak mempunyai tatapan yang lembut. Setahun setelah ia mengenalnya, ia benar-benar tidak bisa membohongi perasaannya. Apalagi setiap ia bersama cakka, Ia merasa nyaman berada didekatnya. Ia tidak pernah peduli dengan sifatnya yang keras. Ia benar-benar menyayanginya. Sampai suatu ketika ia memberanikan diri mengungkapkan perasaannya. Dan memang tak disangka cakka menerimanya. Mungkin selama ini, dia juga tidak pernah tau alasan dia menerima pengakuannya. Sikap cakka juga tidak berubah setelah mereka benar-benar jadian. Pernah ia merasa kalau hanya dirinya yang mencintai. Mungkin memang itu faktanya. Tapi ia tidak pernah peduli, Asalkan laki-laki itu selalu dengannya. Kini, pengakuan itu membuat dadanya sakit. Laki-laki itu tidak pernah mengurusi gadis lain sejauh pengetahuan dia. Cakka memang tidak pernah mencintainya tapi mungkin itu lebih baik dibanding cakka mencintai gadis lain.

  Gadis itu merasakan air matanya jatuh membasahi pipinya. Apa memang dia salah mencintai orang? Tapi ia benar-benar mencintainya. Tuhan… gadis itu seolah meminta pertolongan-Nya. Memohon agar laki-laki dihadapannya ini tidak menyukai ataupun mencintai gadis lain. Jika memang laki-laki ini tidak ditakdirkan untuk mencintainya, biarkan dia selalu bersamanya tanpa harus mencintai gadis lain. Begitu egois kah? Entahlah.

  Gadis itu juga merasakan tubuhnya membeku. Aliran darahnya berhenti, begitu pula detak jantungnya. Tapi hanya satu yang ia rasakan saat ini, hatinya yang terasa begitu perih. Apakah ia memang tidak akan bersama laki-laki ini lagi? Air matanya tambah mengalir deras. Ia tidak melepas pandangannya dari mata cakka. Apa ini saatnya?

  Cakka yang tadinya tidak peduli, kini merasa sedikit cemas dengan keadaan gadis dihadapannya ini.

  “lo ngga apa-apa kan?” tanyanya.
  “gue emang tau lo ngga pernah cinta sama gue, kka. Tapi gue gak yakin kalo ngga akan ada apa-apa sama diri gue, setelah gue tau lo cinta sama cewek lain”
  “maksud lo?”
  “gue gak mau kehilangan elo” kata gadis itu lirih. Ia menunduk sambil terus menangis.
  Cakka terdiam sejenak. Kemudian ia menarik gadis itu kedalam pelukannya. Ia tidak menyangka jadinya akan seperti ini. Dia kira, gadis ini hanya main-main ketika menyatakan perasaannya saat itu. Selama ini gadis itu memang selalu bersamanya. Tapi tidak pernah dia yang mendatanginya, melainkan selalu gadis itu sendiri.

  “maafin gue” hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut cakka.

……

  Didalam kelas, agni terlihat merenung. Ada sesuatu dalam pikirannya. Ia topangkan dagunya dengan tangan diatas meja. Otaknya terus berputar. Kejadian didepan gerbang tadi berkelebat dalam pikirannya. Ia tidak tau gadis dalam pelukan cakka itu siapa, Ia juga tidak melihat wajahnya, karna tenggelam dalam dekapan cakka. Yang jelas ia tau benar kalau gadis itu tidak bersekolah disini. Terlihat dari seragam yang dikenakan gadis itu.

  “apa mungkin itu pacarnya?” gumam agni.
  “pasti iya. Lagian ngapain sih pagi-pagi pake peluk-pelukkan segala? Mana ditempat umum pula. Kaya gatau malu aja” gerutu agni.
  ‘eh? Kenapa gue malah ngurusin tuh cowok sih?’ batin agni.

  Tidak lama kemudian, terdengar suara-suara bising anak-anak yang tertawa dan sepertinya sedang berjalan kearah kelas agni.

  “gue yakin tuh anak pindah sekolah karna malu udah jadi banci!” kata goldi lantang.
  “hahhaha… bener tuh! Kalo cara gue sih mending mengasingkan diri sekalian keluar sana” timpal ray.
  “lah? Dia kan emang udah keluar” sahut iel.
  “keluar angkasa maksudnya” kata ray kemudian terbahak dan diikuti oleh anak-anak lainnya.

  Rupanya cakka beserta genknya yang datang. Mereka berjalan sambil terus tertawa melewati pintu kelas. Tatapan agni bertemu dengan cakka yang memandangnya datar.  Cakka tidak ikut tertawa seperti teman-temannya yang lain. Begitu agni sadar, ia langsung mengalihkan pandangannya dan pura-pura mengeluarkan buku tulisnya. Tapi yang terambil bukanlah buku bahasa inggris yang hendak diambilnya melainkan buku pemberian cakka waktu itu.

  Agni membuka buku itu, dan memandangi sketsa wajahnya yang dibuat oleh cakka. Ia meraba sketsa itu ragu.

  ‘sebenernya maksud lo apa, kka? Lo ngga bener-bener suka gue kan? Bahkan lo sendiri udah punya cewek’ batin agni. Ia menggigit bibirnya sendiri. Entah apa yang dipikirkannya sekarang. Ia memang tidak pernah berharap cakka menyukainya. Tapi kenapa hal ini selalu ada dipikirannya?

  Kini cakka sedang duduk diatas meja ray dibelakang. Mereka terlihat sedang berkumpul dan membicarakan sesuatu. Bukan cakka, tapi anak-anak lainnya. Cakka hanya memerhatikan sambil sesekali tersenyum begitu mendengar teman-temannya itu tertawa.

  Perlahan agni berdiri. Dia memberanikan dirinya untuk menghampiri cakka. Ia yakin setelah ini urusan dalam pikirannya akan selesai setelah apa yang akan dilakukannya saat ini.

  “kka…” sapa agni.

  Cakka menoleh. Anak-anak yang lain tiba-tiba berhenti tertawa dan ikut menoleh kearah agni. Jantung agni serasa berdetak lebih cepat saat itu. Gerogi menyergapnya.

  “gue… gue mau balikin ini” akhirnya kata-kata itupun keluar dari mulut agni.
  Buku itu ia sodorkan kearah cakka. Cakka memandangnya datar. Kemudian mengambilnya. Tanpa berpikir lagi, cakka pun merobek kertas yang bergambarkan sketsa wajah itu dan kemudian merobeknya lagi menjadi empat bagian. Agni tersentak melihatnya. Apa yang dilakukan laki-laki ini?

  “sebenernya lo ngga usah repot-repot balikin hadiah kalo elo ngga suka” kata cakka.
  Agni terlihat bingung. Kemudian cakka membuang sobekan kertas itu ke lantai.
  “lo bisa lakuin itu” kata cakka lagi.

  Agni benar-benar tidak menyangka atas kelakuan cakka barusan. Ia masih tertegun memandangi sobekan kertas itu. Sementara cakka kembali sibuk dengan teman-temannya. Sebenarnya apa yang ada dalam hati cakka saat itu? Heran. Kemudian Agni berjongkok untuk mengambil sobekan itu. Bahkan cakka sama sekali tidak repot-repot untuk menoleh kearahnya lagi. Mata agni sedikit kabur karena genangan air matanya yang berdesakkan hampir keluar dari pelupuk matanya ketika mengambil satu persatu kertas itu.

  ‘kenapa lo? Kenapa lo jadi mau nangis gini, ag?’ Tanya agni dalam hati sambil menyeka air matanya.

…..

  Jam istirahat sengaja agni pergunakan untuk menemui via ditaman sekolah. Ia benar-benar ingin bicara dengan saudaranya itu. Begitu banyak yang ia rasakan setelah pindah kesekolah ini. Bukan tidak nyaman, tapi perasaan yang membuatnya bingung. Rasa yang ia tidak mengerti sama sekali.

  “lo gamau makan dulu, ag?” Tanya via begitu sampai di taman belakang sekolah.
  Agni menggeleng lesu.
  “sebenernya ada apa sih?” Tanya via yang heran dengan keadaan saudaranya ini.
  “gue bingung, vi”
  “bingung soal apa?”
  “cakka”
Seketika itu via langsung mengerjap ngerjapkan matanya. Apa dia tidak salah dengar?
  “kenapa sama dia? Dia gangguin elo lagi?”
  Agni menggeleng lagi.
  “terus kenapa dong”
  “dia udah punya pacar ya?” tiba-tiba saja agni menanyakan hal itu.
  “hah? Ngapain lo nanya kaya gitu? Lo ngga lagi suka kan sama dia?”
  “jawab aja”
  “hmmm… gue juga gatau sih. Lagian dia gapernah keliatan deket sama cewek. Cuek abis. Mungkin ditambah cewek-cewek disini takut kali buat ngedeketin dia.  Yah, terkecuali Zahra. Soalnya dia emang udah ngebet banget sama cakka dari kelas 1. Tapi cakkanya gapernah peduli”
  “cewek dari sekolah lain?”
  Via terdiam sejenak mencoba mengingat-ingat.
  “oh iya! Gue sempet denger kalo cakka itu deket sama shilla. Dia anak Bakti Bangsa. Sejauh ini sih Cuma shilla doang kayanya. Tapi gue gak tau kalo mereka itu pacaran apa ngga. Soalnya dulu gue sempet liat shilla dateng kesini pas pulang sekolah, tapi dia Cuma ketemu cakka bentaran doang, abis itu cakkanya pergi pake motornya sendiri. Kalo mereka emang pacaran mestinya pulang bareng, kan?” kata via sambil kembali berpikir.
  Agni terlihat menggigit bibirnya.
  ‘Cuma shilla? Berarti yang tadi pagi dia?’ batin agni. Kemudian dia menghela nafasnya. Sedikit sesak didadanya.
  “tapi kalo emang mereka gak pacaran, gak mungkin tadi pagi mereka pelukan” kata agni pelan.
  “hah? Apa kata lo? Pelukan?”
Agni mengangguk.
  “tadi pagi gue liat mereka. Cakka lagi peluk cewek. Gue yakin itu shilla”
  “jadi mereka pacaran?” via balik bertanya.
Sekali lagi agni hanya menggeleng. Kali ini ia sambil memandangi sobekan-sobekan kertas yang ada dikepalan tangannya.
  “mungkin emang begitu kenyataannya.” Kata agni memperhatikan kepalan tangannya. Kenapa sekarang ia merasa kesal dengan cakka? Dia ingat betul ketika cakka menyapanya dengan tidak sopan pagi itu. Sekarang ia yakin, sapaan itu hanya main-main. Cakka tidak akan pernah serius. Kecuali memukul orang, baru dia akan benar-benar melakukannya. Atau mungkin sketsa itu juga tidak ada artinya. Pantas saja dia langsung merobeknya.
  “itu apaan sih?” kata via yang baru melihat ada sesuatu dikepalan tangan agni. Ia langsung merebutnya.
  “kok robek-robek gini sih? Lecek gini lagi kertasnya” kata via sambil memperhatikan sobekan kertas itu dan mencoba menghubungkannya satu sama lain.
  “loh ini kan sketsa muka lo, ag? Siapa yang bikin?”
  “cakka. Dia bilang itu hadiah buat gue.”
  “cakka? Kok bisa?” Tanya via heran.
Agni menggeleng.
  “terus kenapa lo sobek-sobek begini? Kan sayang. Lumayan loh sketsanya. Gue gak nyangka cakka bisa bikin beginian. Gue kira dia Cuma bisa berantem doang” kata via sambil tersenyum geli.
  “dia yang nyobek. Bukan gue”
  Seketika via mengerutkan keningnya.
  “gue bingung sama sikap dia. Gue emang gak ngarep dia suka sama gue, tapi sketsa itu selalu bikin gue bertanya. Tapi pas tadi pagi gue liat cakka peluk cewek, pertanyaan gue langsung ada jawabannya”
  “terus?”
  “niatnya mau gue balikin sketsa itu. Tapi langsung dia sobek pas nerima itu ditangannya. Dan itu makin jelas, kalo sketsa itu emang gak ada artinya buat dia”
  “so, elo sekarang mau gimana?”
  “ya gak gimana-gimana. Gue gak akan berpikiran apa-apa lagi. Cakka Cuma temen sebangku gue yang menyebalkan. Sekali menyebalkan tetap menyebalkan” kata agni sambil beranjak dari duduknya dan membereskan roknya yang agak kusut karena duduk.

  Kesimpulan yang cukup bagus. Setidaknya itu agak membuat hatinya lega. Agni murid baru Budi Bangsa yang tidak sengaja bertemu dengan makhluk menyebalkan yang bernama cakka dan tidak ada pengaruh apapun dalam hidupnya.
  Langkahnya sekarang lebih ringan. Setelah berpamitan dengan via, ia langsung kembali kekelasnya. Gak akan ada lagi perasaan yang membuatnya selalu bertanya-tanya. Senyum mengembang diwajahnya. Ia memang tipikal orang yang gampang penasaran tapi gampang pula melupakannya :)

 ***
  Brak!

  Buku-buku itu kini jatuh berserakan. Agni benar-benar tidak sengaja menabraknya. Di persimpangan menuju kelasnya, agni memang agak sedikit berlari karena dia baru menyadari kalau dirinya agak terlambat memasuki kelas. Tapi tiba-tiba saja dari arah berlawanan ada seorang murid laki-laki yang sedang membawa setumpukan buku ditangannya. Buku-buku itu terlalu banyak untuk dibawa oleh satu orang. Sampai-sampai murid laki-laki itu tidak melihat jalan karena buku yang tertumpuk ditangannya terlalu menjulang tinggi dan menghalangi pangdangannya.

  “sorry. Gue gak sengaja” kata agni.
  “it’s okay! Gak masalah kok” katanya sambil memunguti satu persatu buku yang berserakan itu dan menumpuknya kembali. Agni pun ikut membantunya. Karna ini memang kesalahan yang agni perbuat.
  “kok sendiri aja sih? Buku-bukunya kan banyak. Lo aja sampe gak liat jalan bawa setumpuk buku kaya gini” kata agni.
  “tenang aja. Gue kan kuat” katanya lagi sedikit bergurau.
  “oh ya? Jadi gue gak perlu bantu lo dong? Padahal niatnya mau gue bantuin bawa lho” kata agni mengikuti arah pembicaraan murid laki-laki dihadapannya ini.
  “haha.. kalo itu emang niat lo, boleh aja. Gue gak keberatan dibantuin sama cewek” katanya setelah menumpuk buku terakhir.
  “maksud lo? Jangan kira gue gak kuat ya bawa buku kaya gini.” Kata agni sedikit menantangnya.
  Murid itu tersenyum. Agnipun ikut tersenyum.
  “oke. Mau dibawa kemana?”
  “ke perpus aja”
  “sipp” kata agni membagi dua tumpukan buku itu.

 Kini mereka berjalan beriringan menuju perpustakaan. Disela perjalanan, mereka sempat mengobrol banyak. Mulai dari perkenalan sampai asal masing masing (?)

  “jadi nama lo Alvin?”
  “yapp. Kenapa? Ada masalah sama nama gue?”

  “ngga apa-apa sih. Eh lo kelas mana?”
  “XII Ipa 2. lo?”
  “XII Ipa 7”

  “sekelas sama cakka?”
  “kok elo tau?”
  “siapa sih yang ngga tau dia” katanya sambil tersenyum.
  ‘begitu terkenalkah seorang cakka disekolah ini?’ batin agni.

Obrolan mereka terhenti setelah buku itu sudah mereka taruh ditempatnya. Dan mereka berpisah menuju kelasnya masing-masing. Pemandangan itu ternyata tidak lepas dari pantauan seseorang. Pandangan orang itu seperti bertanya-tanya. Terlihat gurat-gurat kekhawatiran di wajahnya. Dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.

***
Jam tangan agni sudah menunjukkan pukul 06:45 ketika mobil yang mengantarkannya tiba-tiba menepi dan berhenti.

  “kenapa berenti, pak?” Tanya agni heran.
  “kayanya ada ban yang kempes. Bapa periksa dulu ya, non” kata pak sopir. Agni hanya mengangguk dengan khawatir.

Kembali agni melirik jam tangannya. Hampir pukul 7. Agni semakin khawatir kalau dia akan terlambat datang kesekolah. Tiba-tiba pak sopir mengetuk jendela mobil sebelah kirinya.

  “bannya bocor, non! Kayanya kalau non agni nungguin bapa pasti lama. Bapa cariin taksi aja ya, non? Gak apa-apa kan?” tawar pak sopir begitu agni membuka jendela mobilnya.
  “hmm.. ya udah. Gak apa-apa kok, pak” kata agni yang kemudian keluar dari mobilnya.
  “tunggu sebentar ya, non” kata pak sopir.

Ketika baru saja pak sopir hendak pergi mencari taksi, ada seorang anak laki-laki yang mengendarai ninja berwarna hitam menepi mendekati agni. Agni heran melihatnya. Anak laki-laki itu kemudian membuka kaca helmnya.

  “agni, kan?” tanyanya. Agni sedikit mengerutkan keningnya.
  “Alvin?” ucap agni ragu.
  “mobilnya kenapa?” Tanya anak laki-laki itu yang ternyata Alvin.
  “bannya bocor” jawab agni.
  “non agni, maaf. Bapa permisi cariin taksi dulu ya, non” sela pak sopir. Agni menoleh kemudian mengangguk.
  “eh, ngga usah pak! Biar agni berangkat bareng saya aja” cegah Alvin.
  “tapi, vin…”
  “udah, ag. Lo bareng gue aja. Yukk!” ajak Alvin.
  Agni terlihat sedikit ragu.
  “kok malah bengong? Ayookk! Kalo nunggu taksi malah tambah lama” bujuk Alvin. Setelah berpikir sejenak, akhirnya agni mengangguk.
  “pak, agni berangkat dulu, ya!” pamit agni.
  “iya, non. Hati-hati ya den Alvin. Bapa titip non agni” kata pak sopir itu rengkuh.
  “iya, pak! Kami duluan, ya” kata Alvin begitu agni sudah naik keatas motornya.

***

Sementara itu, dibawah pohon pinggir lapangan, tampak cakka dan teman-temannya yang sedang berkumpul. Kali ini suasana terlihat sepi. Tidak tampak seperti anak-anak yang sedang bercanda. Mereka semua hanya terdiam heran melihat tingkah cakka yang hanya duduk termenung sambil memukul-mukulkan tongkat baseballnya pada batang pohon. Sepertinya hati boss mereka sedang tidak berdamai.

Tiba-tiba saja ray menyikut tangan iel. Iel menoleh risih kepada ray. Tapi ray hanya mengedikkan dagu kearah cakka. Iel berdecak kesal. Ia mengerti isyarat yang ray berikan. Kemudian iel pun menghampiri cakka.

  “kenapa sih, kka?” Tanya iel. Cakka hanya menoleh tapi kemudian meneruskan apa yang dilakukannya kembali.

Sebenarnya iel juga heran mengapa cakka tiba-tiba seperti ini. Iel mengenal cakka sejak awal dia masuk sekolah ini. Dari dulu cakka memang dingin. Dia berbeda dengan murid lainnya. Tatapannya penuh kebencian. Entah apa yang membuat dia seperti itu.

Cakka memang tidak pernah peduli dengan apapun. Sampai suatu ketika, seorang kakak kelas yang notabenenya ketua genk terdahulu sekolah ini menantang cakka karena dia telah dianggap membangkang. Kakak kelas itu berani mempertaruhkan jabatannya sebagai ketua genk disekolah ini kalau saja cakka berhasil mengalahkannya. Awalnya cakka memang tidak peduli, tapi akhirnya dia naik darah ketika kakak kelas itu mengatainya pecundang yang hanya berlindung dibawah jabatan ayahnya. Dan tak disangka, dengan satu dua kali serangan, cakka berhasil mengirim kakak kelas pecundang itu kerumah sakit. Sejak saat itu anak-anak menjadi segan padanya. Dan secara tidak langsung, cakka sudah menduduki posisi ketua genk yang baru. Mungkin seharusnya sejak kejadian itu, dia sudah di DO kalau saja sekolah tidak mengingat posisi ayahnya sebagai donator utama sekolah ini.

Setidaknya itu yang iel ingat tentang sejarah cakka yang hingga saat ini menjabat sebagai ketua genk disekolah ini. Dan ada dua hal yang ia ketahui, cakka itu asik kalau lagi seneng, tapi bisa jadi monster mengerikan kalau dia marah. Sesimple itu. Dan sekarang ada satu hal yang iel sadari, sebelumnya dia tidak pernah melihat cakka murung seperti ini.

Tiba-tiba saja dari arah berlawanan. Jauh didepan sana, agni terlihat berjalan beriringan dengan seorang anak laki-laki. Alvin. Agni tampak tersenyum gembira saat itu. Lalu mereka berpisah dan saling melambaikan tangan satu sama lainnya,

Melihat kejadian itu, rahang cakka terlihat mengeras. Iel yang menyadari hal itu hanya tersenyum tipis. Kini ia tau apa yang membuat cakka murung seperti tadi. Tiba-tiba saja goldi yang baru datang dan melihat kejadian yang sejurus dengan pandangan cakka langsung membuka suara.

  “wahh si ketua osis bertingkah tuh boss! Hati-hati boss, nanti direbut lagi cewek inceran bos!” kata goldi. Cakka langsung mendelik tajam kearahnya.
  “apa ada yang nyuruh lo komentar?” kata cakka dingin.
  “so..rii boss!” kata goldi yang langsung mengunci mulutnya.

***
  “wah wah.. Baru juga dua mingguan sekolah disini. Udah narik perhatian dua cowok populer! Hebat banget lo!” tiba-tiba terdengar suara sinis begitu agni berbelok dikoridor menuju kelasnya.
  “Zahra?” kata agni heran. Zahra yang sekarang tepat berdiri dihadapan agni terlihat melipat kedua tangannya didada. Begitu angkuh.
  “lo apain si Alvin? Sampe dia mau-maunya boncengin elo kesekolah”
  “maksud lo apaan, ra?”
  “alah.. belaga bego lo! Gue tau, sebenernya elo punya bakat terpendam kan?” kata Zahra. Agni mengerutkan keningnya heran.
  “bakat jadi playgirl!” desis Zahra kemudian.
  “apaan sih, ra? Gue bener-bener gak ngerti maksud lo apa”
  “kemaren-kemaren cakka kan yang lo deketin, sekarang Alvin. Sebenernya mau ke siapa sih lo? Gak konsisten!” kata Zahra. Agni menghela nafas sejenak.
  “sorry, ra. Gue gak mau cari ribut sama lo. Gue gak pernah deketin siapapun. Gue Cuma cari temen. Dan lo tenang aja. Gue sama sekali gak ada apa-apa sama cakka ataupun alvin!” tegas agni yang kemudian berlalu pergi. Ia memang tidak pernah berniat mencari musuh disekolah ini. Tapi entah kenapa hanya Zahra yang tidak pernah menyukai kehadirannya. Mungkin agni memang tau alasannya, tapi kenyataannya ia benar-benar tidak berniat merebut cakka dari siapapun terutama Zahra.

Tiba saatnya istirahat. Tapi agni benar-benar tidak berniat keluar kelas. Ia hanya duduk sendiri ditempat duduknya. Kembali teringat kata-kata Zahra tadi pagi. Ia masih heran dengan apa yang dikatakan Zahra.

  “dua cowok populer?” gumam agni.
  “siapa? Cakka sama Alvin?” Tanya agni bingung. Saat itu cakka dan teman-temannya memang tidak ada. Agni tidak tau mereka kemana. Yang jelas tas cakka sudah bertengger manis ditempat duduknya. Hanya saja pemiliknya menghilang dari jam pertama dimulai hingga sekarang. Agni betul-betul heran dengan sekolah ini. Bagaimana bisa ada siswa membolos begitu saja tapi dibiarkan tanpa hukuman. Dan apakah karna hal itu cakka termasuk cowok populer? Otak agni terus saja bertanya-tanya.
  “anak berandal seperti itu mana bisa jadi cowok populer?” desah agni.

Jam istirahat memang masih tersisa beberapa puluh menit lagi. Tapi agni benar-benar tidak ingin keluar untuk mencari makan. Tapi ia penasaran dengan keberadaan cakka. Jangan-jangan anak itu tidur lagi ditaman belakang. Seperti waktu itu. Agni beranjak perlahan dari duduknya. Ia berjalan keluar kelas. Tidak tau arah tujuannya kemana. Ia hanya berjalan sambil memperhatikan anak-anak lainnya. Tapi diantara anak-anak itu, agni tidak melihat batang hidung cakka sedikitpun.
  ‘loh? Kenapa gue nyariin cakka? Aduh apaan sih lo, ag!’ batin agni tiba-tiba sekaligus menghentikan langkahnya.
  “ehhmm.. kenapa berdiri tengah jalan?” Tanya seseorang dibelakang agni. Agni kaget dan langsung berbalik badan.
  “Alvin? Hehe sori” kata agni. Alvin tersenyum. Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki menghampiri mereka.
  “maaf kak Alvin, Cuma mau ngingetin, nanti abis pulang sekolah ada rapat. Kak Alvin ikut, kan?” tanyanya. Sekali lagi Alvin hanya tersenyum sambil mengangguk. Kemudian setelah berpamitan, anak itupun segera pergi.
  “kalo boleh tau, lo mau rapat apaan?” Tanya agni.
  “rapat mingguan OSIS”
  “lo jadi pengurus osis?” Tanya agni lagi.
  “loh? Emangnya lo gatau?” Tanya Alvin balik.
  “gue kan baru kenal elo kemaren. Mana gue tau. Elo kan gak pernah bilang”
  “Hah? hahaha ternyata ketua osis disini emang gak populer ya?” kata Alvin sedikit tertawa.
  “maksud lo?”
  “gak apa-apa. Lupain aja” kata Alvin yang masih menahan tawanya. Tapi agni masih keliatan heran. Tidak lama dari itu, bel masuk berbunyi. Agni yang menyadarinya langsung pamit pada Alvin untuk kembali kekelasnya. Begitu pula dengan Alvin.


  “cakka? Tadi kemana aja, lo?” kata agni begitu ia mendapati cakka yang sudah bertengger dibangkunya.
  Cakka menoleh. Tatapannya datar.
  “gue pergi kemana, apa ada urusannya sama lo?” ucap cakka dingin.
  Agni terdiam sejenak mendengar ucapan cakka. Mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tapi seketika mengatup kembali. Ia urungkan niatnya. Ia memilih untuk duduk ditempatnya. Lagipula, ia sadar. Semua yang dilakukan cakka memang tidak ada urusannya dengan dia. Jadi untuk apa ia bertanya.

Suasana kelas saat itu sangat berisik. Guru yang seharusnya mengajar dikelas agni saat ini sedang tidak masuk. Tak ada titipan tugas apapun. Itu sebabnya anak-anak dikelasnya menjadi berisik. Dan tumben sekali cakka tidak pergi keluar kelas. Teman-teman cakka dibelakang malah sedang asik bermain kartu. Tapi cakka tidak ikut bergabung. Ia masih bergeming ditempat duduknya. Begitupula dengan agni. Suasana saat itu agak membuat agni sedikit kaku. Ia bingung harus berbuat apa. Sangat tidak mungkin sekali kalau saat ini harus mengajak cakka mengobrol. Dia terlihat sedang tidak bersahabat. Tiba-tiba…

  “cepet juga ya lo akrab sama si ketos?” ucap cakka. Agni sedikit tersentak.
  “lo ngomong sama gue?” Tanya agni.
  “lo pikir gue lagi ngomong sama siapa?” kata cakka.
  “maksud lo si ketos, apaan?”
  “sepolos-polosnya elo, tapi gue gak percaya kalo elo gak ngerti apa itu ketos”
  “ketua osis, kan? Gue gak bego-bego amat, kok. Tapi, maksud lo apaan nanya kaya gitu?” kata agni sedikit jengkel. Cakka mendelik.
  “iya iya. Gue pasti jawab pertanyaan lo, kok. Tapi masalahnya gue gak paham. Emang si ketos itu siapa?” Tanya agni yang mengerti respon cakka.
  Mendengar agni bertanya seperti itu membuat bola mata cakka membesar.
  “masa lo gak tau?”
  Agni menggeleng. Cakka mendengus kesal melihatnya. Apakah harus dia menyebutkan nama orang itu?
  “tunggu… tunggu, maksud lo Alvin?” kata agni yang teringat sesuatu.
  “gue emang tau kalo dia pengurus osis. Tapi gue baru tau kalo dia ketuanya. Pantesan aja dibilang famous” kata agni yang entah berbicara dengan siapa. Sementara cakka terlihat sudah malas meneruskan obrolannya. Dia beranjak dari duduknya kemudian pergi begitu saja keluar kelas tanpa mempedulikan agni yang terheran-heran ditinggalnya.
  “gue salah ngomong kali, ya?” gumam agni.

***

Disini adalah satu-satunya tempat yang membuat hatinya tenang. Tapi disini juga satu-satunya tempat yang bisa membuat hatinya kembali merasakan perih yang begitu menyakitkan. Semuanya berkelebat begitu saja. Siluet-siluet itu dengan cepat melintas dipikirannya ketika ia pandang nisan dihadapannya itu.

Disinilah cakka berada. Berdiri disamping sebuah makam seseorang yang sangat ia cintai. Setiap kali ia berada disini, pikirannya selalu terusik dengan kenangan lalu. Dan setiap kali itu juga, ia selalu mengepalkan tangannya sekeras mungkin. Rahangnya mengeras begitu saja. Tatapannya penuh duka yang diselimuti kebencian. Ia tidak pernah bisa menghindari perasaan itu.

  “gue gak akan pernah ngebiarin lo ngerebut kebahagiaan gue lagi, vin! Gak akan pernah!” gumam cakka.

***

Siang itu begitu panas. Lapangan tampak sepi peminat. Biasanya pada saat jam istirahat, beberapa anak laki-laki sering menggunakannya untuk bermain basket. Tapi kali ini tidak ada satupun. Sementara cakka dan teman-temannya seperti biasa duduk-duduk dibawah pohon tepi lapangan. Udara panas saat itu cukup membuat ray dan goldi belingsatan.

  “kemana sih si Aldi? Gatau apa gue udah dehidrasi begini!” kata ray mewakili goldi yang juga sedang kehausan.
  “noh dia! Cepetan, woy!!!!” teriak goldi.
  “pingsan dulu lo ya? Disuruh pesenin es teh aja lama banget” kata ray mencak-mencak sambil merebut segelas pet es teh dari tangan aldi.
  “ma… ma’af. Kak! Tadi dikantin penuh. Kan masih jam istirahat” kata aldi.
  “yee emangnya gue peduli kantin penuh atau ngga!? Sinih!!” kata goldi sambil melakukan hal yang sama seperti ray. Gabriel hanya tersenyum melihat tingkah kedua temannya itu kemudian ia juga ikut mengambil jatahnya dari tangan aldi.
  “ehh, kenapa lo malah bengong disini? Lo gak nawarin si boss?” kata ray pada aldi.

Aldi tersentak dan kemudian menghampiri cakka pelan-pelan. Melihat aldi yang berjalan kaya mempelai keong wanita, ray jadi tidak sabar sendiri. Ia dorong tubuh aldi dari belakang. Tapi karna aldi tidak siap, kakinya tersandung dan tanpa sengaja menumpahkan es teh itu kebaju cakka. Cakka terdiam tanpa ekspresi. Ia bangkit dari duduknya.

Seketika semuanya terdiam. ray terlihat kaget. goldi dan ielpun tersentak. Keadaan menjadi hening sesaat. Aldi kaget dan tubuhnya mendadak gemetar. Ia benar-benar tidak tau apa yang akan terjadi padanya setelah ini.

  “kenapa lo gemeteran? Harusnya kan gue yang gemeter kedinginan!” ucap cakka. Aldi menunduk. Tidak berani menatap kakak kelasnya ini.
  “ma.. ma’af boss!! Sa.. sa.. saya gak se.. sengaja!” cicit aldi yang kemudian mengelap-ngelap baju cakka yang kotor dan basah menggunakan bajunya.

Melihat tindakan yang dilakukan aldi, goldi segera memisahkannya dari cakka. Mungkin itu akan membuat semuanya lebih reda sebelum kemarahan bossnya itu meledak saat itu juga.

  “bego banget sih, lo! Didorong gitu aja gak bisa nahan!” maki goldi.
  “ma’af, kak! Ampun. Saya gak sengaja” cicitnya lagi. Goldi terdiam, kemudian ia melirik cakka.
  “boss, mau diapain nih?” Tanya goldi.
  “suruh dia panggilin semua anak laki-laki kelas sebelas kesini! Sekarang!” kata cakka.
  “oke. Lo denger kan? Cepetan! Gak pake lama!” kata goldi pada aldi yang segera berlari memanggil teman-temannya.
  “lo perlu ganti baju, kka?” Tanya iel.
  “gak perlu” ucap cakka yang kembali duduk ditempatnya. Iel sedikit khawatir dengan apa yang akan terjadi setelah ini.

Tidak lama kemudian, anak-anak pun dating berlarian menuju lapangan. Goldi sibuk mengambil alih untuk membariskan anak-anak itu.

  “ayo ibu-ibu… barisnya cepetan! Diatur barisannya yang rapi!” teriak goldi ditengah lapang seolah sedang membariskan ibu-ibu hamil yang sedang antri periksa kandungan. Setelah rapi, goldi menghampiri cakka ditepi lapangan. Anak-anak pada bertanya-tanya. Kebanyakan raut wajah mereka terlihat ketakutan. Karna siapa tau saja setelah ini mereka akan dapat pukulan tongkat baseball gratis dari kakak kelasnya itu.

  “udah rapi, bos! Mau disuruh ngapain?” Tanya goldi.
  “lari keliling lapangan ini seratus putaran!” kata cakka. Goldi terlihat mengangguk mengerti.
  “Tambah sepuluh lagi kalo berhenti!” lanjut cakka kemudian. Goldipun langsung melesat menghampiri anak-anak itu.
  “okee. Sekarang kalian lari keliling lapangan ini seratus putaran!” teriak goldi. Anak-anak pada tercengang mendengarnya.
  “dan kalo berhenti bakal ditambahin sepuluh putaran lagi” lanjut goldi. Seketika anak-anak langsung terdengar berdesis-desis tidak jelas.
  “kalo ada yang mau protes, langsung aja ngadep gue!” teriak cakka dari pinggir lapangan.
  “nah tuh! Ada yang mau protes. Silahkan!” teriak goldi. Anak-anak terdiam. Tak ada satupun yang bersuara.
  “gak ada? Ya udah. Selamat bersenang-senang!” kata goldi kemudian berlari ketepi.


Agni terheran-heran saat melihat banyak sekali anak-anak berlari keliling lapangan mengenakan seragam. Kalaupun mereka sedang jam pelajaran olahraga, tidak mungkin berlari tanpa mengenakan kaos olahraga. Karana penasaran, dari pinggir lapangan ia tanyai satu persatu anak yang melewatinya. Tapi tak ada satupun yang menjawab. Mereka tidak ada yang berani menjawabnya. Agni semakin heran. Seketika ia mengalihkan pandangannya, berhentilah tatapannya pada sosok laki-laki yang sedang duduk santai dibawah pohon rindang. Agni segera menghampirinya dengan perasaan kesal.

  “mereka disuruh apaan sih sama kalian?” sentak agni.
  “mereka lagi jam pelajaran olahraga” celetuk ray. Agni tersenyum sinis.
  “mana ada guru yang nyuruh mereka olahraga siang bolong kaya gini!? Berapa putaran kalian suruh mereka lari?”
  “seratus putaran doang kok!” jawab goldi. Mata agni seketika membesar.
  “sepuluh lagi kalo berenti” tambah ray.
  “kalian gila apa? Liat, udah banyak banget yang pingsan tuh”
  “ya berarti mereka-mereka yang pingsan punya utang sama kita” kata goldi.
  “dasar gila!” teriak agni. Goldi dan ray hanya tersenyum tipis. Mata agni beralih kearah cakka.
  “gila ya lo, kka?” bentak agni begitu dihadapan cakka.
  “manusia macem apa sih lo? Lo gak kasian apa sama mereka?!!” kata agni lagi. Cakka bangkit dari duduknya dan kemudian meraih tongkat baseballnya.
  “mulai sekarang, setiap kata yang keluar dari mulut lo, sebanyak itupula anak-anak ini dapet pukulan dari tongkat gue!” ucap cakka memainkan tongkatnya. Agni terdiam seketika.
   “so, elo tinggal pilih. Berhenti campurin urusan gue, atau nasib mereka berakhir sekarang juga?!!” lanjut cakka sambil tersenyum menatap agni. Agni benar-benar tidak menyukai senyuman dan tatapan itu. Menjijikkan.

Agni tidak mungkin tinggal diam. ia segera berlari kearah ruang guru untuk mencari seseorang yang bisa menghentikan ulah cakka. Dia pasti akan menemukannya disana. Agni terus berlari dengan nafas yang tersengal-sengal. Sementara anak-anak yang lain sama sekali tidak ada yang berani membantunya. Mereka hanya bisa berharap agni bisa menghentikan ulah cakka.

Agni berusaha mengatur nafasnya begitu ia memasuki ruang guru. Semua guru sempat terkesiap. Khawatir dengan keadaan agni. Tapi setelah mengetahui maksud agni, para guru itu malah kembali pada aktivitasnya masing-masing. Agni benar-benar heran melihatnya. Apa-apaan ini? Sekolah macam apa ini? Tidak ada satupun guru yang berani menghentikan ulah anak muridnya itu.

Bu ira, guru bp disekolah itu hanya menarik nafas berat mendengar pengaduan agni tentang cakka.

  ''Sudahlah, agni! Percuma menghentikan dia. Kami disini sudah angkat tangan dengan kelakuan dia.''
  "tapi, bu...''
  "ibu mengerti maksud kamu. Ibu juga ingin melakukan sesuatu. Tapi sepertinya percuma'' ucap bu ira. Agni terdiam. Alih-alih ia berlari keluar ruangan. Bu ira hanya bisa menatapnya nanar. Begitu Agni menghilang dari pandangannya, ada sesuatu yang kini harus ia lakukan. Ia tidak bisa terus-terusan seperti ini.

...

Agni berlari tanpa arah. Ia tidak tau harus kemana. Semua anak disekolah itu hanya menatapnya iba. Agni benar-benar benci melihat itu semua. Mereka semua pecundang. Agni terus menjerit dalam hati. Kakinya sudah tak kuat lagi menopang tubuhnya. Hingga akhirnya ia terjatuh dan terlutut dihadapan seorang anak laki-laki.
  ''Agni? lo kenapa?''
  ''cakka, vin! cakka... Anak kelas sebelas...'' agni tersengal-sengal. Alvin mengangguk. Ia mengerti maksud agni. Mungkin kini saatnya.
  ''lo disini. Biar gue yang ke cakka! oke?'' ucap alvin dan berlalu pergi.

...

Deruan nafas anak-anak itu terdengar begitu jelas. Kini mereka tengah berbaris menghadap podium ditepi lapangan. Sementara itu, tepat didepan mereka berdiri diatas podium seorang anak laki-laki yang sedang memberikan ucapan selamat pada anak-anak itu. Siapa lagi kalau bukan cakka.

  ''gue ucapin selamat buat kalian-kalian yang berhasil ngelewatin tantangan ini. Gue akuin stamina kalian cukup tangguh. Tapi tenang, ini baru permulaan. Masih banyak ujian yang mesti kalian hadepin'' ucap cakka.
  ''ujian apa ini? ujian masuk geng lo?'' ucap seseorang dibalik barisan anak-anak itu. Semuanya langsung menoleh kebelakang. Seketika mereka merapat pada kedua sisi. Memberi celah pada seseorang itu. Cakka terkesiap. Ia berdecak kecil. Kemudian ia turun dari podium dan menghampiri orang itu. Alvin.

Cakka tersenyum tipis begitu ia sampai dihadapan alvin. Kembali ia mainkan tongkat baseballnya.

  ''gue rasa, lo udah ngerti dengan kata 'jangan campurin urusan gue lagi'!'' ucap cakka yang penuh penekanan pada setiap katanya. alvin tersenyum
  ''gue gak pernah berhenti buat campurin urusan lo. Gue cuma mempersiapkan diri aja'' jawab alvin. seketika cakka tertawa mendengarnya.
  ''nyiapin diri buat apa? ngalahin gue? Gak akan bisa!!''
  ''liat aja nanti'' ucap alvin tenang.
  Kembali cakka terbahak mendengar perkataan alvin saat itu. Kemudian tiba-tiba ia menghentikan tawanya dan menatap tajam manik mata alvin.
  ''bisa homerun gak, ya?'' kata-kata itu kembali keluar dari mulut cakka diiringi gerakan yang mengayunkan tongkat baseballnya disamping kepala alvin. Alvin agak sedikit tersentak.
  ''pukul aja, kka. Kalo itu bisa buat lo puas'' kata alvin berusaha tenang. Disis lain, pundak agni terasa melorot melihat tindakan yang dilakukan cakka terhadap alvin. tapi sayangnya ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Matanya tiba-tiba terasa perih. Pandangannya sedikit kabur saat itu.

  ''oh ya?'' ucap cakka tak kalah tenang. Tapi kemudian seketika saja matanya kembali menatap tajam alvin.
  ''kalo gue pukul kepala lo sekarang, lo bakal mati. Dan gue gak tertarik!'' ucap cakka lagi.
  ''satu-satunya yang bikin gue puas adalah ngeliat hidup lo menderita!!'' lanjutnya dan kemudian berlalu pergi.

Kini alvin bisa bernafas lega. Tapi hatinya tetap merasakan ketidak tenangan. Alvin masih tertegun dilapangan itu menatap kepergian cakka dan teman-temannya yang satu persatu mengikuti cakka. Semua ini belum berakhir. Ia harus tetap melakukannya. Sementara agni menatapnya heran. Ia yakin ada sesuatu dianatara mereka. Tapi agni tidak tau itu apa. Melihat alvin dan cakka, entah kenapa ada rasa sedih yang terselip dihatinya.

***
Cakka menghentikan motornya begitu mendapati shilla berdiri didepan gerbang rumahnya. Sepertinya gadis itu memang menunggunya. Cakka sama sekali tak berniat untuk menghampirinya. Dia sudah bisa menduga apa yang akan gadis itu bicarakan dengannya.

  “kka…” sapa shilla begitu sampai dihadapan ninja merah tersebut.

Seperti biasa, cakka hanya membuka kaca helm yang sedari tadi dikenakannya.

  “lo ada waktu?” Tanya shilla lagi.
  “mau ngapain?” Tanya cakka datar.
  “gue mau ngomong lagi sama lo”
  “apa semuanya belom jelas buat lo?” kata cakka. shilla menggeleng pelan.
  “ada satu hal lagi yang mesti gue omongin sama lo”
  “ya udah, ngomong aja. Gue tunggu lo didalem” kata cakka seraya menstater motornya. Tapi tiba-tiba ditahan oleh shilla.
  “bukan disini” cegahnya.
  “gue bilang kan didalem” kata cakka.
  “maksud gue… lo bisa ikut gue sebentar?” Tanya shilla. Cakka sedikit berdecak.
  “gue janji deh abis itu gue gak bakal ganggu lo lagi” sergah shilla kemudian.
  “lo gak bawa mobil?” Tanya cakka. shilla menggeleng.

Yap, saat itu memang dia tidak membawa mobil. Sejak cakka sampai, gadis itu memang tangah berdiri tanpa ada  satu orangpun menemaninya.


  “cepet naik! Gue gak punya banyak waktu”



  “vin.. tadi siang, lo gak kenapa-kenapa kan?” Tanya agni pelan. Ia memang masih berada disekolah saat itu tepatnya kini sedang berada diruang osis bersama Alvin.

Alvin menghentikan gerakan jarinya yang sedang mengetik. Kemudian ia menoleh kearah agni sambil tersenyum.

  “kalo gue kenapa-kenapa, gak mungkin sekarang gue disini” ucapnya kemudian kembali terpaku pada monitor dihadapannya. Agni tersenyum simpul mendengarnya.
  “mmm… gue boleh nanya sesuatu gak sama lo?” Tanya agni ragu.
  “tapi gue gak janji ya bisa jawab pertanyaan lo” kata Alvin sambil terus melakukan aktivitasnya.
  “gue mau nanya soal cakka” kata agni pelan. Seketika Alvin langsung menoleh dan berhenti mnegetik.
  “kenapa?” Tanya Alvin.
  “sebenernya cakka itu emang selalu kaya gitu ya?”
  “kaya gitu gimana?” Alvin malah balik bertanya.
  “yaaa… gitu”
  ”gimana?”
  “aduh gimana ya? Ya gitu deh. Semacam anak bandel, nakal, ya gitu gitu lah” kata agni sedikit frustasi dengan pertanyaannya sendiri.
  “sering bikin ulah?” Tanya Alvin. Agni mengangguk cepat. Menurut agni kurang lebih ya mungkin seperti itu.
  “ngga juga kok” kata Alvin sambil tersenyum.
  “masa sih?” Tanya agni sedikit tak percaya. Alvin mengangguk dan kemudian mengetik lagi.
  “terus, kalo misalnya dia lagi bikin ulah, emangnya gak ada guru yang negur dia ya?” Tanya agni. Alvin terlihat menggeleng.
  “satupun?” Tanya agni lagi.
  “dulu sempet ada sih. Tapi percuma. Malah yang ada makin ribet”
  “kok gitu?”
  “gue juga gatau. Yang jelas cakka gak suka kalo urusannya dicampuri orang lain”
  “tapi kok tadi lo berani ngadepin dia?”
  “udah jadi kewajiban gue” jawab Alvin.
  “sebagai ketua osis?”
  Alvin sedikit mengerutkan keningnya.
  “kurang lebih ya mungkin begitu lah” kata Alvin. Agni hanya manggut-manggut mendengarnya.
  “eh, lo dari tadi lagi ngetik ya? Ngetik apaan sih?” Tanya agni yang baru menyadarinya. Alvin mengerutkan keningnya lagi kemudian diapun tersenyum. Ya ampun agni kemana saja dikau?



 Langit sudah mulai gelap. Sementara cakka baru saja sampai dirumahnya. Ia sedikit terlonjak begitu seseorang dari dalam membukakan pintu untuknya. Nafasnya sedikit tersendat begitu mengetahui siapa yang kini telah berdiri dihadapannya. Rahangnya sedikit mengeras sedangkan tangannya terlihat mengepal dengan kencang.

  “dari mana aja lo? Kenapa baru pulang?” tanyanya.
  “gue mau pulang kapanpun bukan urusan lo!” ucap cakka dan langsung masuk begitu saja.
  “tentu aja jadi urusan gue. Disini gue punya tanggung jawab penuh atas kelakuan lo”

Langkah cakka terhenti. Kemudian ia berbalik menghadap Alvin.
  “terserah! Gue sama sekali gak peduli. Yang jelas lo gak ada hak ngatur hidup gue. Ngerti?” ucap cakka hampir penuh penekanan.
  “Alvin punya hak penuh untuk hal itu cakka nuraga” tiba-tiba terdengar suara seseorang yang muncul dihadapan cakka begitu ia berbalik kembali.
  “ayah?” gumam cakka.
  “justru seharusnya kamu bisa nurut bahkan mencontoh dia. Tidak berkelakuan seenaknya seperti ini” ucap orang itu –ayah cakka-.
  “gak akan pernah, yah! Cakka gak akan mau mencontoh pecundang kaya dia”
  “jaga omonganmu cakka!”
  “kenapa? Dia emang pecundang, kan?”
  “Cakka!!” ayah cakka mulai menaikan nada bicaranya.
  “apa?” sahut cakka datar.
  “Alvin itu saudara kamu!”
  “tapi dia pecundang!” entah mengapa begitu penuh kebencian yang terpancar dari mata cakka saat itu.
  “CAKKA!!”

Plaaakkk…

Sudut bibir cakka terlihat berdarah. Ia mengusapnya dengan kasar. Sungguh, ini adalah puncak dari amarahnya. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal dengan kencang hingga bergetar seakan seluruh emosinya akan membuncah saat itu juga. Ia bersumpah dalam hatinya ini adalah kejadian yang tak kan pernah ia lupakan.

Alvin tercengang menyaksikan itu semua. Ingin rasanya ia membantu cakka. Tapi ia tau itu tidak mungkin. Cakka tidak akan pernah mau menerimanya.

Demi tuhan, itu adalah amarah. Emosi yang kalut hingga dengan sampai hati sang ayah melayangkan tamparan pada cakka. Dia tau itu bukan hanya akan membekas pada raga, melainkan juga hati putranya.

Nafas cakka benar-benar memburu. Dia memang tidak akan membalas semuanya. Ia masih sadar siapa yang baru saja menamparnya itu. Ayahnya. Namun rasa kecewa itu tetap saja bersemayam didalam hatinya. Bahkan kini semakin bertambah setelah kejadian beberapa detik itu. Dia membalikan badannya. Ia tidak tahan jika harus berlama-lama lagi disini. Ia langkahkan kakinya kearah pintu. Sesaat begitu melewati Alvin, cakka terlihat membisikan sesuatu ditelinga Alvin.

  “udah puas kan lo Alvin jonatahan?” bisik cakka sinis.        
  “gue gak berharap itu terjadi. Gue minta maaf, kka” ucap Alvin pelan. Tapi cakka berlalu begitu saja. Beberapa menit kemudian cakka sudah pergi dengan membawa motornya.



Agni tergopoh-gopoh begitu ia sampai didepan kelasnya. Sebisa mungkin ia memberanikan dirinya untuk memasuki ruangan kelasnya yang kini sudah tak berpenghuni dan gelap gulita. Sepanjang perjalanan ia tak henti-henti mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa handphonenya tertinggal begitu saja dilaci mejanya saat jam pelajaran telah berakhir siang tadi. Dan lebih parahnya ia baru menyadari hal itu 25 menit yang lalu padahal bukankah tadi sepulang sekolah ia sempat ngobrol lama dengan Alvin. Dasar ceroboh.

Sedikit ragu agni memasukinya. Takut-takut kalau ada sejenis makhluk ghaib yang mengejutkannya. Lebih bagus kalau makhluk ghaib itu memberinya kejutan hadiah seperti surprisse party, tapi kalau kejutan menyeramkan siapa yang mau.

  “kenapa tadi gue gak minta anter pak satpam aja ya? Tau gini, parno sendiri kan gue” kata agni yang masih berusaha mencari barisan tempat duduknya.

  “yess!! Ketemu!!” serunya setelah berhasil mendapatkan apa yang dia cari.

Kali ini agni menyorotkan cahaya yang dihasilkan dari layar handphonenya ke segala sisi tembok untuk mencari keberadaan stopkontak. Tetapi tak kunjung ia temukan.

  “lah? Hp kan udah ketemu. Kenapa gue baru mau nyalain lampu? Ah bego ya gue. Stupid abis” rutuk agni.
  “lo baru nyadar kalo elo bego? Kemana aja?” tiba-tiba saja ada suara seseorang dibelakang agni.
  “siapa tuh?” Tanya agni. Jantungnya langsung memompa lebih cepat. Agni membalikan badannya. Tapi tak ada siapapun. Ia terus menyorotkan layar handphonenya kesegala arah. Tetap tidak ada siapapun.

Detik berikutnya…

  “Arrrggghhhhhhhhh!!!!! Om hantu jangan apa-apain gue. Please!!!!” ratap agni sambil menutup matanya.
  “kenapa sih lo? Gue disini” suara itu kembali terdengar. Dari sudut.
  “kok gue kaya kenal ya suaranya?” gumam agni mencoba membuka matanya.
  “loh? Cakka?” lanjut agni begitu mendapati seseorang sedang duduk dibawah sambil menyender disalah satu sudut.
  “lo cakka kan?” Tanya agni lagi.
  “lo udah lupa sama gue?” ucapnya dingin.
  “lo lagi ngapain disini?” Tanya agni.
  “bertapa” jawab cakka asal.
  “ih dasar sinting lo! Udah yuk ah pulang. Ngapain malem-malem disini. Ada hantu, baru nyaho lo” ajak agni.
  “tenang. Hantunya udah jadi best friend gue kok”
  “emang udah gila lo ya! Tau ah mending gue pulang” kata agni hendak melangkah keluar.
  “ehh, mau kemana lo? Sini! Temenin gue dulu!” kata cakka.

Agni menoleh dan melihat cakka sedang menepuk-nepuk lantai sebelah kanannya. Sebenernya agni rada parno sama cakka. tapi akhirnya ia menurut juga walaupun ia hanya memilih duduk didepan cakka. tapi itu tak masalah buat cakka yang penting agni mau menemaninya sebentar.

Agni sedikit bingung melihat tampang cakka yang semrawutan. Rambutnya juga acak-acakan. Mana seragamnya kucel. Dari penglihatannya, agni sudah bisa menduga kalau cowok dihadapannya ini sedang ada masalah. Apalagi saat melihat sudut bibir cakka. Meskipun tidak terlalu keliatan tapi agni yakin bahwa itu darah dan sudut bibirnya agak sedikit lebam.

  “itu kenapa, kka?” Tanya agni hati-hati sambil menunjuk sudut bibir cakka.
  “ini?” Tanya cakka sambil mengusap sudut bibirnya. Agni mengangguk pelan.
  “gue mau ngasih tau lo. Tapi setelah itu, lo mesti gue bunuh!” kata cakka dingin. Agni langsung tercekat mendengarnya. Hampir saja dia kejengkang kebelakang. Cakka hanya tertawa geli melihatnya. Agni malah manyun dibuatnya.
  “bilang aja lo gak mau cerita! Gak usah bunuh-bunuh segala” kata agni.
  “iya iya. Lagian gue males bahas itu. Tanya yang lain aja” jawab cakka.
  “sebenernya lo ada apa sih sama Alvin?” Tanya agni.
  Cakka mengerutkan keningnya.
  “apa abis ini gue mesti dibunuh juga?” Tanya agni lagi.
  “si ketos udah curhat apa aja sama lo?” Tanya cakka dingin.
  “gak cerita apa-apa. Makanya gue nanya sama lo” jawab agni. Cakka hanya mendengus.
  “kenapa?”
  “Tanya yang lain aja deh. Gue juga males bahas yang itu” kata cakka memalingkan wajahnya.
  “ya udah. Terus sekarang mau ngapain? Mau ngajak gue bertapa?” Tanya agni kesel.
  “enaknya malem-malem gini ngapain ya kalo berduaan?” kata cakka sambil mendekatkan wajahnya pada agni. Wajah agni langsung memerah seperti udang rebus. Mata mereka beradu saat itu. Jantung agni berdegup dua kali lebih cepat dari sebelumnya.
  “lo… mau ngapain?” Tanya agni gugup.
  “lo pikir gue kaya gini mau ngapain?” kata cakka yang malah menggodanya.
  “huaaaaa…. Jangann!!!” teriak agni yang langsung menutup mulutnya. Seketika cakka malah terbahak dan menarik wajahnya kembali.
  “kenapa lo ketawa?” Tanya agni kesal.
  “muka lo lucu abis tauga!? hahaha” kata cakka yang terus meledeknya.
  “apaan sih lo? Gak lucu!!”
  “Hahaha…!!!”
  “cakka! kenapa sih lo suka banget godain gue?!!”
  “salah sendiri muka lo imut” ucap cakka sambil menggerling nakal.
  “lama-lama disini gue parno beneran kayanya sama lo!!” kata agni semakin cemberut dibuatnya. Sementara Cakka menarik nafasnya setelah ia puas tertawa.
  “kenapa lo gak pacaran aja sama pujaan hati lo itu? Apa jangan-jangan udah jadian ya?” entah kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut cakka. agni agak heran mendengarnya.
  “siapa?”
  “si ketos lo itu”
  “Alvin?” Tanya agni yang pura-pura telmi. Cakka hanya berdecak mendengarnya.
  “emangnya kenapa?”
  “bukannya udah akrab?” kata cakka. sedikit terdengar sinis.
  “akrab bukan berarti harus pacaran kan?” kata agni. Cakka terdiam. Lagipula kenapa juga dia harus bertanya seperti itu? Ah bego.
  “lagian gue belom pernah mau pacaran. Sampe sekarang” lanjut agni.
  “berarti lo belom pernah pacaran?” Tanya cakka. agni mengangguk semangat.
  “pantes aja kaku banget tadi. Pacaran aja belom, gimana ciuman” kata cakka setengah meledek.
  “apa salahnya belom pernah pacaran?”
  “heyy lo udah kelas berapa sekarang? Masa belom pernah pacaran. Jangan-jangan gak pernah ngerasain jatuh cinta sampe sekarang”
  “enak aja! Gue pernah kok jatuh cinta. Tapi gue itu belom mau. Lagian tau apa lo soal pacaran? Kaya yang udah ahli aja”
  “lo gatau gue?”
  “emangnya lo kenapa?”
  “gue udah gak perjaka karna cinta” jawab cakka enteng.

  ‘omaigat! Jadi selama ini cakka… ya ampun’ batin agni tidak percaya. Mukanya berubah pucat.

  “lo serius, kka?” Tanya agni. Cakka terdiam. Hening beberapa saat.

Detik berikutnya…

  “HUAHAHAHAH!!”

Seketika cakka malah terbahak kembali. Malah kali ini ia sampai terpingkal-pingkal dibuatnya. Agni menyipitkan matanya.

  “lo kenapa sih?” Tanya agni.
  “sumpah lo itu satu-satunya cewek terlugu yang pernah gue temuin. Atau jangan-jangan lo emang bego lagi. Mau-maunya gue boongin” kata cakka dengan sisa-sisa tawanya.
  “gak lucu!!” kata agni seraya bangkit dari duduknya. Dia berdiri dihadapan cakka sambil melipat kedua tangannya didada.

  “terserah lo mau bilang gue apaan. Yang jelas tadi itu gak lucu!” ucap agni.
  “dih kok jadi marah sih?” Tanya cakka. agni malah memalingkan wajahnya. Cakka mentap wajah agni sambil mengerutkan keningnya.

Kali ini agni benar-benar berusaha untuk tidak ditertawakan cakka lagi. Satu-satunya cara yaitu: PURA-PURA NGAMBEK!
Sepuluh detik agni bertahan memalingkan wajahnya. Tapi tiba-tiba perutnya tidak ikut berkompromi. Sebelum kesini, tadi agni memang belum sempat makan malam. Dan sekarang dia lapeeeerrrrrrrr!!!!

Cakka yang mendengar suara-suara aneh yang keluar dari perut agni sontak kembali tertawa. Apalagi saat melihat muka agni yang menahan malu darinya.

  “terus aja ketawa! Puas banget sih lo?”
  “bangett!! Hahaha”
  “udah ah pulang yuk?” ajak agni sambil mengulurkan tangannya.

Cakka menoleh kemudian meraih tangan agni dan langsung menumpukan berat badannya pada tangan agni begitu ia berdiri. Agni yang belum siap, tak sengaja tertarik dan menghimpit tubuh cakka kearah tembok. Wajah mereka hampir saja beradu. Dan kali ini jantung agni seolah ingin lompat-lompat keluar. Untuk beberapa detik mereka tetap bergeming.

  “lo harus makan dulu” bisik cakka kemudian tepat ditelinga agni. Setelah itu dia berlalu melewati agni yang masih saja bergeming. Sesaat, kuping agni serasa panas dibuatnya. Tapi entah kenapa dia begitu senang mendengar ucapan itu.

  “katanya mau pulang?” teriak cakka yang baru menyadari saat agni tidak mengikutinya. Agni langsung senyum-senyum gak jelas sambil berlari kearah cakka dan mendahuluinya berjalan. Sedangkan cakka hanya menautkan alisnya karena heran.

---

Sinar matahari pagi yang menyorot dari jendela membangunkan cakka saat itu.. Sebentar ia regangkan otot-ototnya. Lantai diruang kelasnya memang tidak cocok untuk dijadikan tempat tidur. Seragam bagian punggungnya terlihat begitu kotor. Begitupula dengan celananya. Tapi namanya juga cakka, mana peduli dia akan mengenakan apa saat jam pelajaran nanti. Kemudian dia beralih duduk ditempat duduknya. Ia tersenyum mengingat kejadian semalam. Setelah mengantar agni sampai gerbang, dia kembali dan tidur dikelas ini. Tadinya ia akan mengajak agni makan kalau saja agni tidak memutuskan untuk langsung pulang malam itu Ternyata itu memang bukan mimpi.

  “cakka!” teriak seseorang dari pintu kelas. Gadis itu terlihat melambaikan tangannya. Cakka tersenyum menyambutnya.

  “gue yakin lo bakal tidur disini. Jadi gue sengaja dateng pagi-pagi buta kaya gini buat bawain lo sarapan” kata agni begitu ia duduk dihadapan cakka. ia mengeluarkan kotak makannya dan ia letakkan diatas meja yang berada dihadapan mereka berdua.
  “buat lo” kata agni sambil tersenyum.
  “lo gak makan?”
  “gue udah sarapan kok dirumah. Itu khusus buat lo”

Cakka mengambilnya dan membuka tutup kotak makanan yang berornamen hello kitty itu. Tempe goreng dan telor orak-arik beserta nasi terhidang didalamnya. Cakka menautkan alisnya.

  “hehe.. gue gak bisa masak. Jadi yah itu aja yang gue bisa. Sorry” ucap agni melas. Cakka tersenyum. Begitu tulus.
  “makasih ya” kata cakka sambil mengacak-acak rambut gadis dihadapannya itu.

Tak sampai 5 menit, nasi beserta lauknya sudah habis tanpa sisa. Cakka begitu lahap menyantapnya. Maklum belum makan dari kemarin. Agni senang melihat masakannya habis. Tidak sia-sia.

  “gimana? Enak ngga?” Tanya agni penuh harap.
  “rasanya emang standar. Tapi lumayan bikin kenyang” jawab cakka yang sempat membuat agni memanyunkan bibirnya kalau saja ia tak menambahkan kalimat terakhir.
  “lo bawain gue makan, tapi kok gak bawain gue minum sih?” Tanya cakka kemudian.
  “oh iya!” kata agni yang baru menyadarinya. Kemudian ia menggeledah isi tasnya dan mengeluarkan tempat air minum miliknya. Tidak lama-lama cakka merebutnya dan langsung menenggaknya samapi habis. Agni sampe melongo dibuatnya.
  “santai aja kali. Itu kan emang buat lo” kata agni. Tapi cakka sama sekali tak menggubrisnya.
  “eh, baju lo kotor gitu. Gak bawa ganti?” Tanya agni. Cakka melirik punggungnya kemudian membuka satu persatu kancing kemejanya.
  “eh lo mau ngapain?” Tanya agni.
  “ganti baju. Gak usah parno gitu deh” jawab cakka sambil melepas kemejanya itu.
  “ya ampun” agni malah sibuk sendiri menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
  “kenapa sih lo? Santai aja. Gue Cuma ganti kemeja kok” kata cakka sambil membongkar loker miliknya.
  “lagian lo ganti baju disini. Di kamar mandi kan bisa” gerutu agni.
  “yaelah ribet amat sih lo” kata cakka sambil mengancingkan kancing terakhir kemajanya dan beralih duduk ditempatnya semula agni. Sementara agni tetap saja menutup matanya.
  “lo kok lama banget ganti kemeja doang?” Tanya agni.
  “gue udah selesai dari tadi kok” jawab cakka yang kini tepat mendekatkan wajahnya dengan wajah agni. Agni menurunkan tangannya dan membuka matanya perlahan. Nafasnya tiba-tiba saja tertahan begitu mendapati wajahnya tidak berjarak lagi dengan wajah cakka.

  “cakka?” bisik agni. Cakka menautkan kedua alisnya.

Perlahan agni mengelus sudut bibir cakka. lukanya sudah mengering. Tapi masih berbekas. Masih lebam. Entah apa yang agni rasakan saat itu. Mata itu. Tidak bisa ia tebak. Melihat mata cakka, ia menemukan sejuta pertanyaan.

Cakka meraih tangan agni lembut. Semoga saja luka itu cepat hilang dengan sentuhan tulus agni. Hanya itu yang bisa ia harapkan.
  “gue obtain ya?” tawar agni.
  Cakka menggeleng. Ia menurunkan tangan agni dengan lembut.
  “gue udah sembuh kok. Udah ada bidadari yang ngelus luka gue” ucap cakka sambil tersenyum.

Entah itu gombalan atau apa agni tidak peduli. Pagi ini hatinya begitu bahagia. Apakah cinta itu ada pada cakka? entahlah.

  “kalian berdua ngapain hari gini udah disekolah?” tiba-tiba terdengar seseorang yang berteriak dari arah pintu kelas.

Cakka dan agni menoleh. Ternyata suara itu adalah suara Zahra. Cakka tiba-tiba beranjak dari duduknya dan berjalan keluar kelas.

  “bukan urusan lo” kata cakka begitu ia melewati Zahra. Zahra terdiam. Sementara cakka terus saja berlalu.
  “kita gak ngapa-ngapain kok, ra” jelas agni.
  “diem lo! Gue gak butuh penjelasan dari lo” ucap Zahra kemudian pergi. Agni yang mendengarnya hanya menghela nafas gusar.


  “semoga kehadiran lo bisa ngerubah semuanya, ag” ucap seseorang yang memang sedari tadi bersembunyi dan menyaksikan semuanya lewat sisi jendela.

Laki-laki itu tak mengeluarkan banyak kata dalam persembunyiannya. Hanya sebuah harapan. Setelah itu ia pergi menuju kelasnya.

***

Hari itu adalah hari terakhir ia bertemu dengan cakka, karena sebelumnya ia memang sudah merencanakan untuk pindah ke paris. Ia tau itu adalah satu-satunya jalan untuk melupakan cakka. meskipun tidak terlalu yakin disana ia bisa melupakan cakka, setidaknya Jakarta-Paris terpisah dengan jarak yang jauh. Dan semoga saja hal itu sedikit bisa membantunya.

Meskipun penerbangannya ke paris dijadwalkan jam 15.00, tapi barang-barang miliknya sudah terpacking sejak tadi malam. Dan rencana dia sebelum berangkat adalah menemui seseorang. Bagaimanapun caranya, dia harus bertemu dengan orang itu.


Agni sempat heran, begitu ia keluar gerbang tiba-tiba dirinya sudah disambut sebuah jazz merah milik seseorang. Ia kira pemilik mobil itu salah orang, tapi ternyata perkiraannya yang meleset. Gadis cantik pemilik mobil itu mempersilahkannya untuk masuk. Agni menurut saja. Dan tak berapa lama kemudian sampailah mereka disini. Café momento (?)

  “shilla” ucap gadis itu sambil mengulurkan tangannya.
  “agni” ucap agni sambil menyambut uluran tangan shilla. Sepertinya agni pernah melihat gadis cantik ini. Tapi ia lupa dimana.
  “gue sengaja pengen ketemu lo. Mungkin lo gatau gue. Tapi setidaknya gue tau lo karna cakka” ucap shilla lembut.

  ‘cakka?’ sepertinya agni sudah bisa mengingat siapa gadis ini.

  “lo bukannya pacar cakka ya?” Tanya agni ragu. Shilla tersenyum.
  “itu dulu” jawab shilla.
  “udah putus?” Tanya agni. Mendadak wajah shilla berubah muram.
  “sorry, gue gak maksud…” ucap agni kemudian yang menyadari perubahan air muka shilla.
  “gak apa-apa kok. Emang kenyataannya kaya gitu” kata shilla yang berusaha kembali tersenyum. Agni terdiam sejenak.
  “oh iya, emangnya lo ada perlu apa mau ketemu sama gue?” Tanya agni.
  “gue titip cakka ya sama lo? Cuma lo yang gue percaya” pinta shilla.
  “loh? Kenapa jadi gue?” Tanya agni heran.
  “karna gue sadar, lo satu-satunya orang yang bisa ngerubah cakka. Gue mohon supaya lo mau ngebantu dia”
  “kenapa mesti gue?” Tanya agni lagi.
  “apa gue mesti kasih tau semuanya dulu baru lo mau?” Tanya shilla. Agni mengangguk ragu. Shilla terdiam kemudian ia menghela nafasnya.
  “Saat itu, ayah gue dan ayah cakka adalah rekan bisnis. Dan mama gue juga kenal baik sama bundanya cakka. Karna itulah gue kenal cakka.” shilla memulai prolognya. Sementara agni manggut-manggut tak mengerti mendengarkannya.
  “waktu itu kita masih kelas dua smp. Gue, cakka sama Alvin sekolah disekolahan yang sama”
  “Alvin?” gumam agni. Shilla mengangguk.
  “meskipun Alvin sama cakka itu masuk sekolah ditaun yang sama, tapi Alvin itu kakaknya cakka.“ kata shilla. Agni sedikit bingung mendengarnya.
  “gak berapa lama dari itu, gue denger kabar kalo ternyata orangtua mereka pisah.” Lanjut shilla. Agni mengerutkan alisnya semakin heran.
  “Alvin tetap tinggal dengan ayahnya, sementara cakka ikut bundanya tinggal dibandung. Mulai dari situ, gue jadi gak pernah lagi ketemu cakka sampai akhirnya setahun kemudian cakka balik lagi ke Jakarta dan tinggal bersama ayahnya” shilla menyeruput cappuccino miliknya. Agni tetap setia menjadi pendengarnya meskipun pikirannya sibuk mencerna semua cerita shilla.
  “sejak saat itu sikap cakka bener-bener berubah. Gue rasa penyebabnya adalah kepergian bundanya.”
  “emang bundanya pergi kemana?” Tanya agni.
  “waktu itu, gue bener-bener bingung saat Alvin dan ayahnya tiba-tiba pergi ninggalin acara kelulusan disekolah. Pas gue tanya sama mama, ternyata bunda mereka kecelakaan. ” agni sedikit tercekat mendengarnya.
  “jadi itu sebabnya cakka kaya gini?” Tanya agni.
  “itu setau gue. Karna sejak itu keluarga gue jarang bertemu lagi dengan ayah mereka. Mungkin karna sama-sama sibuk sama kerjaan. Gue juga gak masuk di SMA yang sama dengan mereka. Tapi walaupun begitu gue masih sering kerumah mereka. Gue prihatin sama keadaan cakka, begitu pula Alvin. Gue tau berada di posisi mereka pasti sangat berat. Apalagi cakka, dia itu yang paling deket sama bundanya.”
  “Pasti cakka ngerasa kehilangan banget karna bundanya harus pergi” ucap agni. Shilla mengangguk pelan.
  “jadi, lo mau kan jagain cakka? gue rasa dia gak akan sedingin ini lagi kalo sama lo”
  “tapi, gue…”
  “gatau kenapa perasaan gue bilang, sebenernya cakka itu butuh seseorang. Dan sayangnya itu bukan gue” kata shilla.
  “gue harap itu elo, ag” lanjutnya sambil tersenyum.

---

Setelah bertemu dengan shilla siang tadi, kepala agni sedikit pusing. Isi otaknya serasa semrawutan. Bagaimana tidak? Shilla telah mempercayakan dirinya untuk menjaga cakka. Sementara dalam kenyataannya, dia kenal dengan cakka saja baru beberapa bulan yang lalu, bagaimana bisa shilla percaya padanya?


  “non agni! Makam malamnya udah siap, non” teriak bibi dari luar kamarnya. Agni yang saat itu sedang mengacak-ngacak rambutnya menyahut sebentar.
  “ayah sama bunda udah pulang, bi?” Tanya agni.
  “belum, non. Katanya lembur” jawab bibi.
  “selalu aja lembur. Kapan ada waktunya buat gue?” gerutu agni yang melanjutkan aktivitasnya kembali. Mengacak-ngacak rambutnya.
  “mau makan sekarang gak, non?” Tanya bibi lagi.
  “bibi makan duluan aja. Agni gak nafsu” teriak agni dari dalam kamarnya.

 ‘AARRRGGHHHH!!!’

Saat ini agni benar-benar bingung harus berbuat apa. Mengurusi hidupnya saja agni sudah tak bersemangat, apalagi hidup orang lain.

***

  “AGNIII!!!!” teriak via sambil menggedor-gedor pintu kamar agni.
  “banguunnn!!! Dasar kebo! Mau berangkat jam berapa lo?” teriak via lagi.
  “berisiiikkkkk!!” teriak agni yang menutup kupingnya dengan bantal.
  “kebo! Ini tuh udah jam setengah tujuh” teriak via. Agni langsung terkesiap. Begadang semalaman ternyata tidak bermanfaat sedikitpun untuknya. Dan sekarang ia malah bangun kesiangan.
  “TUNGGUIN GUEEE!!!” teriak agni.


  “untung gue jemput elo. Ternyata feeling gue gak salah” kata via sambil menggigit roti isinya.
  “buruan berangkat. Bentar lagi telat nih” kata agni yang sibuk memakai dasi.
  “lo gak sarapan dulu?” Tanya via.
  “gak sempet! Buruan ah!” kata agni yang menjinjing sepatu ketsnya kedalam mobil via.
  “eh tungguin dong!” kata via berlari setelah menegak segelas susu hangat dimeja makan agni.
  “lo mandi dulu gak sih, ag?” Tanya via sambil memasuki mobilnya.
  “cepetan jalan! Pelajaran pertama pak duta nih” gerutu agni. Tak banyak bertanya lagi via langsung menuruti perintah agni.


Tepat bel masuk berdering, agni dan sivia sampai disekolahnya. Mereka berpisah menuju kelasnya masing-masing. Agni sedikit tergopoh-gopoh berlari menuju kelasnya. Dalam hati ia berharap dirinya bisa masuk kelas lebih awal dari pak duta. Karna kalau sampai dia masuk telat sedikit saja, dia tidak tau hukuman apa yang akan ditanggungnya.

Harapan agni sia-sia begitu melihat dari kejauhan pak duta sudah memasuki kelasnya. Kini ia tidak tau harus bagaimana. Yang jelas ia tidak mungkin mengikuti jejak cakka yang memang sering bolos pelajaran pak duta. Mau tak mau ia langkahkan kakinya menuju pintu kelas.

  “dari mana saja kamu?” sergah pak duta yang sudah berdiri dihadapannya begitu agni hendak mengetuk pintu. Agni yang daritadi menunduk tersentak.
  “maaf, pak. Kesiangan” jawab agni pelan.
  “coba liat buku tugas kamu” pinta pak duta.
  “buat apa, pak?”
  “bukannya kamu kesiangan karna semalaman mengerjakan PR yang bapak kasih minggu lalu? Apa sudah selesai, agni?” Tanya pak duta.

DEGG!

Sebenarnya agni bisa saja bebas dari hukuman pak duta jika ia berhasil menunjukan bukti kalau dia sudah mengerjakan tugasnya, tapi apa daya ingat ada PR saja tidak, bagaimana mungkin ia sudah mengerjakannya.

  “sa.. saya lupa, pak” jawab agni sambil menundukan kepalanya.
  “Dengar ya agni tri nubuwati, bapak peringatkan sama kamu. Tidak ada toleransi terhadap anak murid yang tidak disiplin waktu seperti kamu. Apalagi ditambah melalaikan tugas. Mau jadi generasi seperti apa kamu ini” ceramah pak duta.
  “tapi, pak…”
  “sudah.. sudah.. sekarang kamu berdiri ditengah lapangan sambil memberi hormat pada tiang bendera sampai jam pelajaran bapak selesai. Mengerti, agni?” tegas pak duta. Agni mengangguk lemah.


  “haduuhh apes banget sih gue hari ini. Udah telat, lupa ngerjain peer, ujung-ujungnya kena hukuman” gerutu agni yang kini sedang menjalani hukumannya.
  “tangan gueee… keram banget ini. Kenapa belum selesai juga sih??” keluh agni lagi. Baru saja ia berdiri beberapa menit, pelipisnya mulai berpeluh karena teriknya matahari pagi.
  “jam berapa sih ini? Mataharinya kok panas banget ya? Jangan-jangan udah waktunya pulang”
  “baru juga jam 8 kok. Dan kita masih harus berdiri disini kira-kira sekitar 30 menit lagi” kata seseorang yang kini berdiri disamping agni.
  “cakka? ngapain lo?” Tanya agni heran melihat cakka malah berdiri disampingnya dan ikut memberi hormat pada tiang bendera.
  “lagi dihukum juga” jawab cakka santai.
  “ada gitu guru yang ngehukum elo? Perasaan lo bolos juga, guru fine-fine aja kayanya” ucap agni.
  “itu sih terserah mereka. Yang jelas sekarang gue dihukum. Buat nemenin elo.” Ucap cakka. Agni yang mendengarnya sedikit tak percaya. Selama beberapa menit ia terdiam. Ia tak tau harus menyikapi keadaan ini seperti apa. Dia terlalu bingung.

Hampir 20 menit cakka dan agni berdiri dalam diam. Keringat mereka sudah bercucuran. Pelajaran pak duta tak kunjung selesai. Entah berapa lama lagi agni harus berdiri dia tidak tau. Tiba-tiba saja kepalanya menjadi pusing. Pandangannya juga sedikit kabur. Ia merasa tenaganya hilang. Badannya sedikit limbung. Cakka kaget begitu melihat agni yang seperti tak kuat lagi menopang tubuhnya. Dengan cepat cakka merengkuhnya.

  “lo gak apa-apa, ag?” Tanya cakka. Agni yang setengah sadar menggeleng pelan.
  “ke UKS aja ya?” tawar cakka. agni menggeleng lagi.
  “lo kayanya sakit. Muka lo pucet gitu” kata cakka.
  “gue gak apa-apa. Cuma pusing doang” kata agni pelan sambil mengurut keningnya.
  “udah deh. Mending lo ikut gue! Yuk!” ajak cakka. agni yang sudah tidak ada tenaga untuk menolak hanya menurut saja begitu tubuhnya dengan perlahan dituntun oleh cakka.
  “lo tunggu bentar disini. Jangan kemana-mana. Oke” kata cakka begitu mereka sampai dikursi yang berada tepat dibawah pohon tepi lapangan. Kemudian ia berlalu. Agni duduk dikursi itu sambil menunggu kedatangan cakka kembali.

Tak berapa lama kemudian cakka kembali sambil membawa sebungkus roti dan sebotol air mineral ukuran sedang. Agni sedikit bingung melihatnya.

  “nih. Dimakan” suruh cakka sambil menyodorkan roti tersebut. Agni mengerutkan keningnya.
  “tadi dikantin gue bingung mau beliin lo apa. Jadinya gue Cuma beli roti buat lo.” Ucap cakka. agni masih terdiam.
  “kenapa? Lo alergi sama roti?” Tanya cakka. agni menggeleng.
  “ya udah dimakan! Kenapa lo diem aja” kata cakka yang sudah tak sabar. Agni meraih roti itu ragu. Lalu cakka duduk disampingnya.
  “apa perlu gue yang bukain kemasannya?” Tanya cakka yang hampir kesal.

Agni tidak tau kenapa ia jadi banyak bengong seperti ini. Yang jelas ia heran kenapa cakka punya inisiatif membelikannya roti dan minum.

  “sini! Cuma buka kemasan roti doang masa lo gak bisa sih?” kata cakka sambil merebut roti itu dari tangan agni dan membuka kemasannya.
  “gue Cuma bingung aja.” Kata agni.
  “gak usah bingung kalo Cuma makan roti beginian. Tinggal buka kemasannya terus lo makan. Nih!” ucap cakka yang tidak mengerti maksud dari ucapan agni tadi. Ia tarik tangan agni dan mengepalkan roti itu pada jemari agni.
  “tapi, kka…”
  “gue gak mau tau. Selama lo sama gue, lo mesti makan. Lo ngga bisa ngebiarin kondisi lo kaya gini” kata cakka. agni kembali terdiam.
  “selama apapun lo makan, gue bakal nunggu sampe roti itu abis” lanjut cakka.

Agni memandangi roti itu ragu. Kemudian dengan perlahan ia menggigit sedikit demi sedikit dan mengunyahnya pelan. Tenggorokannya kering, sedikit sulit untuk menelan roti yang telah dikunyahnya. Pandangan cakka sama sekali tak lepas dari wajah agni. Ia terus memperhatikan gadis disampingnya itu.
  “telen, ag. Telen” ucap cakka.

Dalam hati, agni jadi gusar sendiri mendengarnya. Tapi entah kenapa ia sangat senang diperhatikan oleh cakka. Anak ini kalau sudah perhatian ternyata berlebihan.

  “gue mau minum. Tenggorokan gue kering. Mana bisa nelen” kata agni yang sudah susah payah menelan kunyahan pertama. Cakka memberikan air yang tadi dibelinya. Tak lupa ia buka terlebih dahulu tutup kemasannya.
  “thanks ya, kka” ucap agni setelahnya. Cakka mengangguk. Kemudian agni kembali melanjutkan makannya. Begitu pelan.
  “apa lo gamau bantuin gue?” Tanya agni. Cakka mengerutkan keningnya. Begitu mengerti apa maksud agni, ia merebut roti itu dari tangan agni dan membaginya menjadi dua. Satu bagian untuknya dan satu bagian lagi untuk agni.
  “gue bantuin, kok” ucap cakka yang langsung melahap habis roti bagiannya tadi. Agni hanya tersenyum melihatnya. Apa ini mimpi?


  “heh, kenapa lo senyum-senyum sendiri? Tadi pagi gak telat kan?” Tanya via saat jam istirahat yang mendapati agni dikoridor depan kelasnya.
  “telat. Malahan tadi gue dihukum” jawab agni yang masih senyum-senyum gak jelas.
  “sama pak duta? Dihukum apa lo sama dia?” Tanya via yang menyamakan kembali langkahnya dengan agni.
  “berdiri tengah lapang sambil hormatin tiang bendera” jawab agni.
  “terus kenapa lo jadi senyum-senyum gini abis dihukum?”
  “gue seneng” ucap agni dengan senyumnya yang merekah-rekah.
  “gila lo ya, ag? Masa abis dihukum malah seneng?” Tanya via heran.
  “soalnya gue gak sendiri dihukumnya” kata agni.
  “ditemenin sama siapa lo?”
  “cakka”
  “hah? Kok bisa?” Tanya via. Agni mengangkat bahunya.
  “terus gimana?”
  “gak gimana-gimana. Abis itu kita Cuma makan roti bareng di bawah pohon” kata agni kembali tersenyum sambil menerawang kejadian tadi pagi.
  “sok so sweet banget lo! Jangan-jangan lo suka ya sama cakka?” selidik via. Agni menghentikan langkahnya.
  “masa sih?” Tanya agni.
  “menurut lo?” Tanya via balik. Agni mengangkat bahunya kemudian berjalan kembali,
  “gatau. Yang jelas hari ini gue seneng” ucap agni. Via hanya menghela nafas sambil menggeleng heran.
  “hai, vin” sapa agni ceria begitu melewati pintu masuk ruang osis. Via tambah heran. Ragu-ragu ia memasukinya. Alvin yang sedang membaca buku hanya menyapa dengan senyum.
  “ngapain lo kesini, ag?” bisik via pada agni.
  “oh iya, vin. Kenalin, ini via! Temen sekaligus sodara gue” kata agni.
  “hai, via. Elo… ketua ekskul madding itu ya?” Tanya Alvin ramah.
  “hah? Ohh.. iya, vin” jawab via agak gugup. Kok Alvin bisa tau ya?
  “salam kenal” ucap Alvin. Via mengangguk tersenyum sambil mencoba bersikap santai.
  “elo… emang sering disini ya? Pantesan jarang keliatan kalo istirahat” kata via sambil mengedarkan pandangannya. Alvin hanya tersenyum mendengarnya.
  “ternyata nyaman juga ruangannya. Baru sekarang gue masuk ruangan ini” kata via.
  “besok bisa kok sering-sering kesini kalo lo mau” kata Alvin.
  “emangnya boleh?” Tanya via.
  “emangnya pernah ada yang bilang gak boleh, ya?” Tanya Alvin balik.
  “ngga juga sih, inikan ruangan khusus”
  “kalo begitu lo udah termasuk orang khusus yang boleh masuk kesini” kata Alvin sedikit bergurau. Via tersenyum.
  “eh, agni kenapa sih? Kok dari tadi diem sambil senyum-senyum gitu?” Tanya Alvin yang baru menyadari agni yang tengah duduk disalah satu kursi.
  “tau tuh. Lagi kasmaran. Abis makan roti bareng” ledek via yang tengah sibuk melongok kearah luar jendela. Alvin mengerutkan keningnya.
  “apaan sih lo, vi. Nggak kok, vin. Gue gak kenapa-napa” kata agni.
  “eh, siapa lo? Ngapain disitu ngintip-ngintip segala?” teriak via tiba-tiba begitu mendapati seorang murid laki-laki tengah mengintip dari jendela.
  “ma.. ma’af, kak. Saya Cuma disuruh. Sumpah, kak” cicit orang itu.
  “disuruh sama siapa lo?” desak via.


  “si aldi kok lama, ya?” gerutu goldi yang mewakili keresahan bossnya.
  “Jangan-jangan ketauan lagi” celetuk ray. Cakka tercekat mendengarnya. Awas aja kalo sampe ketauan.

Dari jam istirahat tadi cakka memang terlihat gelisah. Walaupun ia sudah mencoba menutupinya dengan bersikap sok cool didepan teman-temannya, tapi tetap saja  ketauan. Akhirnya goldi meminta persetujuan cakka agar dirinya diperbolehkan menyuruh seseorang menjadi mata-mata. Cakka yang sudah tak tau harus berbuat apa, hanya mengangguk setuju. Asalkan semuanya berjalan lancar.

  “noh, si aldi” teriak ray.
  “loh, kok dia berdua sih?” Tanya goldi heran begitu melihat aldi yang tengah jalan berdua menuju kearah mereka.
  “ahh si aldi goblok nihh. Masa ketauan sih” gerutu goldi lagi. Sebenarnya ia takut cakka memarahinya. Itu sudah pasti. Ini semua kan adalah idenya.

  “ampun, kak” ucap aldi pelan begitu ia sampai dihadapan cakka cs.
  “tadi udah usaha. Tapi ternyata ketauan. Kak agni sama kak Alvin gak ngapa-ngapain kok. Disana ada ka sivia juga soalnya” lapor aldi pada cakka. cakka yang saat itu tengah duduk seolah tak acuh mendadak kikuk.
  “kenapa lo lapor sama gue? Yang nyuruh elo kan si goldi” ucap cakka dingin. Goldi meringis. Aldi terdiam begitu pula yang lainnya.
  “kalo elo mau tau semuanya, mending lo sendiri aja yang nyari tau. Gak usah pake mata-mata segala” kata agni tersenyum.
  “gak usah geer. Siapa juga yang mau tau? Lagian bukan gue yang nyuruh si aldi” kilah cakka.
  “oh ya? Gue tau kok. Tapi tanpa seizin elo, goldi ngga mungkin nyuruh aldi. Tapi thanks ya perhatiannya” ucap agni yang berhasil membuat wajah cakka bersemu merah.
  “kalo abis ini elo diapa-apain sama mereka, lo bilang aja sama gue. Oke” kata agni pada aldi. Kemudian pergi sambil tersenyum pada cakka.

  “sial!!” desis cakka. yang lain tersentak. Apalagi goldi. Benar-benar tamat riwayatnya.
  “Kenapa ada cewek semanis dia sih” gumam cakka kemudian sambil menyentakkan tongkat baseballnya ketanah. Goldi bernafas lega. Yang lainnya hanya tersenyum melihat tingkah bossnya saat itu.
Angin sore saat itu bersemilir lembut. Menerpa wajah seorang anak laki-laki yang tengah berdiri ditepi atap gedung sekolahnya. Kedua tangannya ia masukan kedalam saku celananya. Seragamnya terlihat tidak rapi seperti biasanya. Pandangannya lurus kedepan. Entah apa yang kini sedang ia pikirkan.

  “lo kenapa belum pulang?” tiba-tiba terdengar suara yang menyapanya dari belakang.
  “bukan urusan lo” ucap laki-laki itu dingin. Ia sudah mengetahui siapa yang mengajaknya bicara saat itu.
  “maafin gue, kka” ucap orang itu yang sedikit mendekat namun tak berani berdiri sejajar dengan cakka (anak laki-laki) dihadapannya itu.
  “dosa lo terlalu besar buat gue maafin” ucap cakka yang masih bergeming. Tenggorokan orang itu langsung tercekat mendengarnya.
  “bilang, kka. Bilang sama gue apa yang harus gue lakuin buat nebus dosa gue ke elo, kka”
  “sekalipun lo mati, dosa lo gak bakal ketebus, alvin!” ucap cakka yang hampir sama sekali tidak membuka rahangnya.
  “lo gak pernah ngasih gue kesempatan, kka! Lagian gue gak ngerti kenapa lo semarah ini sama gue. Bahkan kata maaf yang keluar dari mulut gue pun, gue gak tau untuk apa. Gue gak ngerti salah gue dimana” ucap Alvin. Cakka tersenyum sinis mendengarnya.
  “lo bilang lo gak tau? Gak ngerti? Lo emang manusia yang gak tau diri!” timpal cakka.
  “Kka!! Gue mohon sama lo. Gue gak mau gini terus. Kita harus selesein semuanya”
  “sekarang gue tanya sama lo, kalo semuanya selesai apa keadaan bakal balik lagi seperti semula, hah?” Tanya cakka sambil berbalik menghadap Alvin.
  “gue harap semuanya seperti itu” jawab Alvin. Cakka berdecak.
  “sayangnya nggak! Semua gak bakal balik seperti semula” ucap cakka. Alvin terdiam heran.
  “lo tau, disini…” lanjut cakka sambil menunjuk dadanya yang bidang dengan telunjuknya.
  “disini terlalu sakit buat nerima ucapan maaf lo” kata cakka. Alvin terdiam tak menyangka. Sebenarnya apa yang telah ia perbuat hingga menyakiti hati sodaranya itu, Alvin bingung.
  “gue…” ucapan Alvin terputus.

Cakka yang sudah jengah dengan semuanya tiba-tiba beranjak begitu saja melewati Alvin. Alvin menunduk lesu. Otaknya terus berputar mencari-cari kesalahan yang telah ia perbuat terhadap cakka. Hingga kepalanya terasa sakit, ia masih belum bisa menemukannya. Ia mengeluarkan bungkusan kecil dari sakunya, ternyata isinya habis. Kini ia memegangi kepalanya yang kesakitan. Lututnya yang tiba-tiba terasa lemas perlahan ia jatuhkan kebawah.

  “gue mau lo maafin gue sebelum nanti gue pergi, kka” ucap Alvin lirih sambil terus menatap lantai atap gedung tersebut.



  “lo kenapa, sih? Dari tadi ngelamun mulu” kata agni pada via sambil menjatuhkan badannya pada sofa dekat jendela. Sementara via sedang asik tiduran di tempat tidur agni sambil menatap kosong atap kamar agni.
  “gak apa-apa. Gue heran aja, kenapa baru kali ini ya gue bisa ngobrol sama Alvin. Padahal gue udah tiga taun sekolah disitu”
  “terus?” Tanya agni.
  “gue kira Alvin anaknya jutek. Abisnya dia gitu sih. Sibuknya sama urusan osis mulu, gak pernah gue liat dia becanda-becanda sama temennya. Tapi ternyata orangnya baik, udah gitu asik juga kalo diajak ngobrol” jelas via. Agni hanya mengerutkan keningnya heran.
  “elonya aja kali yang kuper. Buktinya gue yang baru masuk aja udah akrab. Walopun ketemunya ngga sengaja” kata agni senyam-senyum sendiri.
  “enak aja lo ngatain gue kuper!” gerutu via. Agni hanya cengengesan dibuatnya.
  “eh, tapi lo tau ngga kalo Alvin sama cakka itu ternyata sodaraan?” Tanya agni.
  “tau dari mana lo?” Tanya via. Agni hanya mengangkat kedua bahunya.
  “kabarnya sih emang gitu, tapi gue liat mereka gak pernah keliatan bareng. Udah gitu mereka berdua beda banget. Yang satu ketos, yang satu berandalan. Ya walopun sama-sama cakep” kata via.
   “lo… tau ngga kenapa mereka gak pernah bareng?” Tanya agni. Via menggeleng.
   “lagian lo nanya ke gue. Kalo masalah itu gue gak tau. Tanya aja sama Alvin, atau ngga sekalian sama cakka. itu juga kalo elo berani” ucap via. Agni terdiam.


Saat jam pelajaran pertama, agni duduk manis dibangkunya, menopangkan dagu pada kedua tangannya sambil memperhatikan cakka yang tengah tertidur dimejanya. Saat itu memang tidak ada guru. Sebenarnya agni ingin mempergunakan kesempatan ini untuk bertanya pada cakka. Agni benar-benar ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi antara cakka dan Alvin. Ditambah lagi mengingat pertemuannya malam itu dikelas ini. Jangan-jangan itu ada hubungannya dengan Alvin juga.

Agni menghela nafasnya. Entah kenapa agni benar-benar ingin membantu laki-laki disampingnya itu. Tapi ia masih bingung harus berbuat apa. Kali ini agni menurunkan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih terus menopang. Agni tidak tega membangunkan cakka yang sepertinya tertidur pulas saat itu. Kembali ia tarik nafas dan menghembuskannya sedikit keras. Matanya tetap terpaku pada wajah cakka.

  “kalo lagi tidur kaya gini, muka lo lucu banget. Bukan kaya devil lagi, tapi berubah kaya malaikat” ucap agni pelan sambil tersenyum.

Ketika sedang senyam-senyum sendiri memandangi wajah cakka yang tertidur, tiba-tiba sang pemilik wajahpun terbangun. Agni sampai salting dibuatnya. Cakka mengusap wajahnya kasar dan mengucek matanya sejenak. Lalu memandangi agni yang terlihat jelas salah tingkah. Apalagi topangan dagunya yang hampir saja jatuh saking kagetnya.

  “kenapa, lo?” Tanya cakka heran. Nafas agni tersendat. Matanya sedikit membulat. Kemudian ia menggeleng cepat.
  “lo… ngeliatin gue tidur, ya?” Tanya cakka yang mendekatkan wajahnya pada agni. Kali ini agni benar-benar menahan nafasnya.
  “kenapa diem? Bener kan, lo ngeliatin gue tidur?” goda cakka. agni yang sudah tak tahan dengan keadaan akhirnya mengaku juga.
  “kalo iya kenapa? Gak boleh??” kata agni cepat yang malah membuat cakka tersenyum.
  “kka, ngapain sih lo?” Tanya agni saat cakka makin mendekatkan wajahnya.
  “takutnya lo belum puas mandangin wajah gue. Segini kurang deket?” Tanya cakka. Jantung agni tiba-tiba saja berdegup cepat saat itu. Tak bisa berkata apapun, tak bisa berbuat apapun.
  “wihhh, boss!! Ngapain noh?” teriak ray tiba-tiba yang tak sengaja menoleh kearah mereka. Sontak yang lainnya ikut memandang kearah cakka dan agni. Cakka hanya menoleh sambil tersenyum tipis dan menarik wajahnya kembali. Agni menghembuskan nafasnya lega.
  “nanti lagi aja. Gue mau cuci muka dulu” bisik cakka sebelum akhirnya ia beranjak keluar kelas. Cukup menegangkan.



Cakka benar-benar kaget saat mendapati motornya dalam keadaan yang sudah tidak seperti semula. Begitupula teman-temannya yang lain saat melihat keadaan motor cakka. Kali ini motornya penuh baretan disana-sini. Lampu depannya pecah. Ban depan belakang bocor karna paku yang menancap sadis diluarnya. Siapa yang berani seperti ini? Rahang cakka mengeras.

  “wah jangan-jangan anak itu lagi bos. Parah abis tuh anak. Kali ini mesti diabisin boss!!” komentar goldi.
  “abisin aja kalo kalian bisa! Kevin sekarang ada dalam perlindungan kita” tiba-tiba seorang laki-laki muncul disertai anggotanya.
  “sion?” desis ray.
  “gue yang nyuruh Kevin ngerusakin motor lo. Mau apa lo sekarang?” Tantang sion (laki-laki itu) pada cakka. sementara Kevin terlihat berlindung dibalik badan sion.
  “ngapain lagi lo cari gara-gara sama gue?” Tanya cakka datar.
  “denger ya, cakka nuraga!! Gara-gara lo dua taun lalu, gue koma dan harus nunda sekolah gue” terang sion. Cakka mengerutkan alisnya.
  “jadi itu alasannya kenapa sekarang lo masih make seragam SMA? Kasian banget hidup lo. Kenapa lo gak masuk sekolah ini lagi? Seru kan kalo kita bisa lulus bareng disini” sindir cakka.
  “cih. Gue gak sudi diatur pemimpin pecundang seperti lo” desis sion.
  “bukannya itu udah perjanjian? Kalo elo kalah, gue yang jadi ketua. Jangan-jangan dulu gue udah bikin lo gagar otak ya? Sampe lo pikun kaya gini” kata cakka. sion berdecak kesal.
  “gue masih gak terima kalo gue kalah dari lo, pecundang tengik!!”
  “sekali lagi lo panggil gue pecundang, siap-siap aja rahang lo patah untuk yang kedua kalinya” kata cakka dengan tatapan membunuhnya.
  “justru gue yang bakal bikin lo mampus ditangan gue. Begitu pula dengan anggota lo yang sama pecundangnya seperti lo!” tegas sion.
  “ehh jaga tuh mulut lo!” teriak goldi.
  “kenapa? Gak suka?” Tanya sion.
  “urusan ini Cuma antara lo dan gue! Gak ada pihak lain!” ucap cakka. sion tersenyum mengejek.
  “tenang aja, setelah gue ngabisin lo, baru ada pihak lain yang mesti gue abisin juga kaya lo!”
  “gak usah banyak bacot lo!” ucap cakka begitu menggenggam tongkat baseballnya dan menghantamkannya pada rahang sion. Darah segar menyembur dari mulutnya. Sepertinya giginya ada yang tanggal akibat hantaman dari cakka tadi. Sejenak sion mengerang kesakitan.
  “gimana?” Tanya cakka dingin.

Sion terdiam sambil memegangi dagunya. Tak perlu aba-aba darinya, anak-anak sion cs pun langsung berhamburan menyerang cakka cs. Ray, goldi, iel, aldi beserta beberapa anak lainnya tak perlu repot-repot memilih. Mereka menghajar siapapun lawan yang mendekatinya.

Suasana parkiran sekolah yang sudah sepi itu kini ramai dengan erangan dan suara-suara benturan keras lainnya. Untung saja pelajar lainnya sudah pulang kerumahnya masing-masing. Cakka memang sempat mengkhawatirkan hal itu. Tapi setelah menyadari sekolah sepi tak berpenghuni ia dapat leluasa melakukan pertahanan.

Perkelahian itu hanya berlangsung beberapa menit setelah akhirnya mereka mendengar sirine yang berasal dari mobil polisi meraung mendekati. Sepertinya masih ada orang didalam sekolah, begitulah pikir cakka. seketika anak-anak itu langsung berlarian kesegala arah untuk melarikan diri.

Namun, ketika cakka cs masih tetap ditempatnya, begitupula dengan cakka yang sibuk berpikir siapa orang didalam sekolah, tiba-tiba sion melayangkan sebuah balok kayu kearah kepala cakka. Aldi satu-satunya orang yang menyadari hal itu bergegas mendorong cakka agar terhindar hantaman balok itu.

  BUKK!!


Aldi ambruk begitu kepalanya yang terkena hantaman tersebut. Anak-anak yang lain langsung menghambur kearah aldi. Cakka tersentak melihatnya. Memandang tak percaya kearah sion. Sion yang salah sasaran malah berdecak kesal.

  “mungkin giliran lo bisa nanti, pecundang!!” ucap sion yang kemudian berlalu.

Darah yang keluar dari kepala aldi begitu banyak. Tangan cakka bergetar hebat. Tenggorokannya tercekat. Nafasnya tersengal. Pandangannya tiba-tiba kabur. Dia tidak seharusnya seperti ini. Tongkat baseball yang dipegangnya terjatuh. Seluruh otot-ototnya melemas. Jantungnya terasa mencelos.

  “boss, si aldi ngeluarin banyak darah. Kita harus cepet bawa dia ke Rumah Sakit!” teriak goldi.




Cakka meneguk ludah saat melihat kumpulan orang berpakaian hitam didepannya. Langkahnya terhenti. Kakinya seperti terpaku ke tanah. Kejadian kemarin siang benar-benar seperti mimpi. Ia terlalu bodoh membiarkan semuanya terjadi.

  “bos,” tegur ray, menyadarkannya. Cakka meliriknya, lalu mengangguk. Kembali ia melangkah, walaupun berat.

Cakka masuk kedalam pekarangan rumah aldi yang telah dipenuhi oleh para pelayat. Anak-anak kelas sebelas tampak berkumpul dipojokkan, melotot saat melihat kedatangan cakka dan yang lain. Kerumunan didepan cakkapun segera terbelah memberi jalan.

Cakka tersaruk menuju pintu rumah aldi yang terbuka lebar. Saat cakka mencapai pintu, ia segera bisa melihat tubuh aldi yang telah terbungkus kain kafan. Terbujur ditengah ruangan. Cakka menatap nanar sosok pucat itu.

Kedua orangtua aldi tau-tau menyadari kehadiran cakka.

  “ngapain kamu datang!!” jerit ibu aldi. Membuat cakka tersentak. Wanita itu segera bangkit dan dengan kalap memukuli cakka.

  “gara-gara kamu aldi meninggal!! Gara-gara kamu!!”

Iel dan goldi dengan segera melindungi cakka dari amukan ibu aldi, tapi cakka mencegahnya. Cakka menerima segala pukulan dari ibu aldi, merasa pantas mendapatkannya.

  “maaf…” ucap cakka kemudian, suaranya tercekat.
  “maaf? MAAF?? Kamu minta maaf sekarang?! Aldi sudah meninggal!” histeris ibu aldi. Cakka tak bisa menjawab.

Ibu aldi kini sudah terduduk, menangis sekuat tenaga sementara suaminya merangkulnya.

Cakka bergeming. Matanya kembali terpaku pada jenazah aldi. Cakka bisa melihat Alvin dan agni yang ada di sudut ruangan dari sudut matanya. Keduanya tampak sedang berdoa.

  “sekarang ngapain kalian disini, hah? Sana pergi!!” teriak ibu aldi menyadarkan cakka.
  “sekarang aldi sudah pergi. Kalian jangan urusin dia lagi!!” ibu aldi terus berteriak.

Cakka menurut saja saat ibu aldi mendorongnya dan anak-anak buahnya keluar rumah. Cakka lantas termangu didepan pintu, berusaha menguasai diri. Anak-anak buahnya mulai merasa cemas, sementara para tetangga sudah mulai berbisik.

  “memang dasar anak-anak gak bener…”
  “kecil-kecil saja sudah berani tawuran, mau jadi apa mereka”
  “kasihan banget aldi bergaul sama mereka…”
  “harusnya mereka aja yang mati”

Rahang cakka mengeras sementara anak-anak buahnya semakin cemas. Anak-anak kelas sebelas juga menatapnya ngeri dari pojokan.

Disaat semua orang menyangka cakka akan mengamuk, anak laki-laki itu malah menghela nafas berat dan mulai melangkah. Anak lainnya saling pandang bingung, lalu mengikutinya tanpa banyak bicara.

Beberapa meter dari rumah aldi, cakka menghentikan langkah. Ia lantas melirik sedikit kebelakang.

  “gue mau sendiri”
  Mata iel melebar “tapi, kka…”
  “Gue. Mau. Sendiri”

Kali ini tidak ada siapapun yang membantah lagi. Mereka membiarkan cakka melangkah sendirian. Iel menatap punggung cakka cemas. Ia hanya bisa berharap cakka berpikir jernih dan tak melakukan sesuatu yang bodoh.
Sayangnya iel tau benar bagaimana cakka.



Cakka menarik kerah seorang pemuda yang wajahnya sudah bersimbah darah dengan satu tangan. Satu tangannya lagi menggenggam tongkat baseball erat-erat.

  “dimana dia? Atau lo mau mati?” Tanya cakka lambat-lambat dengan suara rendah.
  “di… gudang… belakang sek…olah” jawab pemuda itu susah payah, hampir tersedak giginya yang sudah tanggal. Cakka mengempaskannya ketembok. Lalu melewati beberapa tubuh lain yang terlebih dahulu terkapar ditanah.

Cakka berjalan tegap menuju belakang sekolah baktipura, musuh bebuyutan sekolahnya. Sekolah yang ternyata kini dikuasai oleh sion sebagai ketua geng. Cakka menatap halaman luas dibelakang sekolah itu dan memicing kearah sebuah gudang di kejauhan. Cakka memanggul tongkat baseballnya, lalu mulai melangkah dengan sebuah determinasi: ia akan menghancurkan semuanya hingga tak bersisa.
Cakka menatap sebuah pintu seng, lalu menendangnya hingga pintu itu melayang ke ujung ruangan. Ruangan itu penuh asap mengepul hingga cakka tak dapat melihat kedalam.

  “HEH! SIAPA LO?!” seru seseorang. Cakka mundur beberapa langkah untuk membiarkan para semut itu keluar dari sarangnya.

Satu per satu anggota geng sekolah itu keluar, dan satu per satu pula menganga saat menyadari siapa yang ada didepan markas mereka. Cakka hanya balas menatap mereka sengit.

  “wah wah, liat siapa ini!” seru sion saat melihat cakka. Tapi tatapan cakka tertuju pada Kevin yang berlindung dibalik tubuh sion.
  “masih betah lo jadi kacung disini?!” ucap cakka geram. Membuat sion mengernyit, tapi detik berikutnya ia sadar cakka sedang mengajak bicara Kevin.
  “sebelum lo ngebuang dia, dia emang udah jadi pengikut gue!!” kata sion tersenyum licik. Cakka tertawa jijik mendengarnya.
  “emang kesalahan gue udah milih pengkhianat macem lo jadi anggota gue! Tapi untung aja gue udah ngebuang lo!!” ucap cakka penuh penekanan yang ditujukan pada Kevin.
  “sebenernya lo kesini mau ngapain, hah? Nyerahin nyawa lo?” ucap sion.
  “justru gue kesini bakalan jemput nyawa kalian semua. Terutama, elo!!” ucap cakka dengan tatapan membunuhnya. Sion mengernyit. Kemudian melirik ke segala arah.
  “sok jagoan, lo! Tanpa anggota, lo yakin bisa??” kata sion mengejek.
  “kenapa ngga? Gue sendiri yang bakal ngabisin lo semua tanpa harus membuat anggota gue terluka dengan tangan busuk lo!!”
  “tapi sayangnya gue yakin lo gak bakal bisa!” kata sion meremehkan.

Mendengar ucapan sion tersebut, cakka hanya tersenyum tipis kemudian balik menatapnya bengis. Cakka lantas mengangkat tongkat baseball dan menunjuk sion.

  “lo duluan,” kata cakka dingin. Lalu beralih menunjuk Kevin.
  “berhubung lo kacung si brengsek ini, lo terakhir!” lanjut cakka.

Sion segera memberi sinyal pada anggotanya, tapi sebelum ia sempat menghindar, cakka sudah keburu menonjok rahangnya dengan tongkat baseball. Darah beserta beberapa gigi muncrat dari mulutnya, membuatnya terhuyung lalu ambruk ketanah.

Sion memegangi rahangnya yang sudah miring, tak bisa berkata-kata karena menahan sakit. Anak-anak buahnya hanya bengong menatap bosnya yang sudah terkapar dalam hitungan detik itu.

Cakka lantas berbalik, menatap kumpulan anak-anak yang hanya bisa menatapnya ngeri. Cakka baru maju selangkah, kumpulan itu sudah kocar-kacir melarikan diri. Tapi cakka tak kan membiarkan mereka kabur. Cakka tak kan menjilat ludahnya sendiri. Cakka sudah bertekad untuk menghancurkan mereka semua. Dan cakka akan melakukannya hari ini juga.

Kevin merapat ke tembok, sekujur tubuhnya gemetar menyaksikan cakka berubah menjadi monster saat menyerang anak-anak gen baktipura dengan membabi buta. Kevin tak pernah melihat bagaimana cakka berkelahi. Selama ini ia hanya pernah mendengar legenda, dan tak pernah berkesempatan untuk melihat karena cakka nyaris tak pernah meladeni tantangan sekolah lain. Ia bahkan sempat berpikir cakka hanyalah seorang pengecut yang sok. Hingga akhirnya ia dibujuk sion dan memilih untuk bergabung dengan baktipura.

Tapi ternyata ia salah. Ia salah telah berurusan dengan monster itu. Sekarang ia mendapatkan kesempatannya, tapi bahkan kesempatan itu adalah kesempatan terakhirnya. Ia akan mati ditangan cakka hari ini juga, dan ia bahkan tak bisa bergerak untuk menghindar.

Tak sampai beberapa menit, gerombolan geng yang tadinya gagah perkasa itu sudah teronggok berserakan ditanah. Cakka berdiri ditengah-tengah mereka dengan nafas tersengal dan wajah penuh cipratan darah. Darah orang lain.

Sekujur bulu kuduk Kevin meremang saat cakka menoleh padanya. Kevin tak dapat bergerak saat cakka perlahan menghampirinya. Kevin hanya memandang ngeri tongkat baseball yang dipegang cakka, dan ia bersumpah bisa melihat darah menetes dari ujungnya.

  “AMPUN, KAK!!” seru Kevin, segera bersujud hingga dahinya menyentuh tanah.
  “ampun!! Saya gak bermaksud berkhianat”

Cakka mentapnya datar. Ia lantas mengangkat dagu Kevin dengan tongkatnya. Kevin mau tak mau melihat mata cakka. Kevin bersumpah kembali bisa melihat kobaran api di bola matanya.

  “gue seharusnya ngabisin lo dari dulu!” desis cakka.

Kevin tau sekeras apapun usahanya untuk memohon akan percuma. Anak laki-laki didepannya ini sudah bukan manusia. Kevin lantas memberanikan diri untuk menatap orang yang akan menghabisi hidupnya. Detik berikutnya ia terpaku.

Kevin seperti bisa melihat air mata dimata ketua gengnya itu. Kevin pasti sedang bermimpi.

  “tapi kalo lo mati, apa untungnya buat gue?” gumam cakka, lebih pada dirinya sendiri.
  “satu anggota gue udah mati dimasa jabatan gue! Tentunya gue gak mau itu terulang lagi dengan gue ngabisin lo sekarang!” ucap cakka.
  “karna dengan begitu, sama aja gue udah ngebunuh dua anggota gue” lanjut cakka. Kevin menatapnya tak berkedip.

Cakka lantas mendorong kepala Kevin dengan tongkat hingga ia terjengkang. Kemudian cakka bergerak kearah seseorang yang terkapar disampingnya dan melepas jaket yang dikenakan orang itu.

  “lo bisa balik kalo lo mau” kata cakka sambil mengenakan jaket itu. Membuat mata Kevin melebar saat melihat cakka pergi sambil menyeret tongkat baseballnya.

Satu hal yang Kevin ketahui, cakka tidak pernah menyeret tongkat baseball itu.



  “CAKKA!!”

Iel segera bangkit saat melihat cakka muncul. Anak-anak lain juga ikut berdiri sambil menatap cakka cemas. Cakka balas menatap mereka dengan senyum lelah, lalu melangkah mendekat.

  “kka…” ucap Iel menatap jaket yang dipakai cakka dengan curiga.
  “kalian semua udah ngumpul?” cakka menatap anak-anak kelas sebelas dan sepuluh yang berbaris rapi didepannya. Anak-anak itu membalas dengan gumaman.

Cakka mengangguk-angguk lalu menatap teman-temannya. Iel masih menatap cakka penuh selidik.

  “bos” kata goldi tiba-tiba, matanya melebar begitu menatap tongkat baseball cakka.
  “itu… darah?” lanjutnya.

Perhatian semua orang kini beralih pada tongkat baseball itu yang memang tertempel darah yang sudah setengah mongering. Perlahan mata semua orang terangkat pada subjek yang memegangnya.

  “kka, lo gak nyerang markas baktipura sendirian kan?” Tanya iel, membuat semua orang melongo.

Cakka tak menjawab. Ia hanya menatap iel dengan seulas senyum tipis. Pikiran anak itu memang selangkah lebih maju dari siapapun yang ada disini.

Iel rupanya tidak puas dengan aksi diam cakka. ia segera menyambar jaket yang dipakai cakka, lalu membukanya paksa. Harusnya ia bisa menebak apa yang ia lihat, tapi tetap saja ia mundur saat melihat noda darah dikemeja cakka.

Semua orang sekarang menatap cakka tanpa berkedip. Suasana sekolah sore itu mendadak lengang.

  “BOS!” seru ray memecah keheningan. Ia segera merangsek kedepan.
  “kenapa bos dateng sendirian ke markas baktipura? Kenapa bos ngga ngajak kita?’
  “nggak perlu” cakka kembali menutup retsleting jaket itu dengan tenang. Ia lantas berbalik menatap adik-adik kelasnya yang langsung mundur beberapa langkah.

Cakka menjilat bibir, lalu menghela nafas. Mungkin ini sudah saatnya.

  “gue tau, sebagai ketua kalian, gue udah gagal!” kata cakka membuat semua orang menatapnya tak percaya.
  “gue gagal ngelindungin anggota gue sendiri. Seharusnya gue emang gak pernah jadi ketua”

Hening. Tak ada satupun yang berniat menyela cakka.

  “kalian semua kecewa sama gue, gue ngerti. Karena gue, kalian kehilangan temen kalian. Karena gue, kalian semua dapet cap yang lebih buruk daripada yang udah-udah”

Tetap hening selama beberapa saat setelah cakka selesai bicara. Semuanya sibuk dengan pikirannya.

Cakka lantas maju, membuat adik-adik kelasnya mundur teratur. Cakka melempar tongkat baseball ketanah, lalu disaat semuanya berpikir ia akan menarik salah satu anak kelas sebelas, ia malah perlahan berlutut. Semua orang menatapnya tak percaya.

  “kalian boleh melakukan apapun sama gue, gue gak akan ngelawan” kata cakka, sementara semua orang masih menganga parah.

  “mulai sekarang, gue Cuma murid sekolah ini. Gue bukan lagi ketua kalian. Gue bukan bos. Gue Cuma cakka. jadi kalian gak usah takut”

  “cakka!” seru iel, tapi cakka hanya menengok dan menatap teman-temannya dengan senyum lelahnya.
  “kalian juga. Siapapun, yang udah merasa gue kecewain” cakka kembali menatap adik-adik kelasnya.

Anak-anak kelas sebelas dan sepuluh masih terdiam, tak percaya kalau ketua geng yang selama ini mereka segani selama ini bisa berlutut didepan mereka, bahkan meminta mereka untuk memukulnya.

Selama beberapa saat, semua orang yang ada dilapangan itu terdiam. Sampai seorang anak kelas sebelas bernama bastian, maju selangkah dari tempatnya berdiri dan memungut tongkat baseball yang tergeletak ditanah dan mendekati cakka. ia lantas menatapnya tajam. Sementara semua orang menatapnya ngeri.

  “begini? Begini, hah? Ketua geng sekolah kita?” Tanya bastian.
Cakka tersenyum, lalu mengangguk.
  “begini” ucapnya.

Bastian menatap cakka lama. Lalu menatap kakak kelasnya yang berdiri dibelakang cakka. tak seorangpun mencegahnya. Tak seorangpun meneriakinya untuk mundur. Bastian bisa memukul bosnya itu kapan saja.

  “kalo ketua aja kaya gini, jalan sendiri, nanggung kesalahan sendiri, apa gunanya anak buah?” seru bastian membuat cakka menatapnya tanpa berkedip. Begitupula semua orang.
  “apa gunanya kami dilatih setiap hari kalo ujung-ujungnya Cuma bos yang maju?” lanjutnya.

Cakka menatap bastian nanar.
  “tapi gue gak layak jadi ketua kalian. Gue gagal”
  “kalo bukan bos yang jadi ketua, gue gak tau harus ikut siapa lagi” tandas bastian. Ia lantas menyerahkan tongkat baseball itu pada cakka.
  “kalo bos mau bertanggung jawab atas kematian aldi, bos harus tetap jadi ketua dan memastikan keamanan sekolah ini sampai detik terakhir.”

Cakka menatap bastian lama, lalu menatap tongkat baseball yang sudah penuh bercak darah yang tertempel rumput kering. Cakka lantas mengedarkan pandangan kesekeliling dimana semua adik-adik kelasnya sudah mengangguk setuju.

  “kka”

Sekarang cakka merasakan tepukan dibahunya. Tanpa harus menoleh, cakka tau itu iel.

  “bos, apapun yang terjadi, kita ada dibelakang bos” timpal ray.
  “jadi, nanti jangan pergi sendiri lagi” tambah goldi.

Cakka mendengus, merasa kata-kata goldi sangat sentimentil dan tak pantas diucapkan seorang preman sepertinya. Cakka menghela nafas dan mengambil tongkat itu dari tangan bastian dan bangkit.

  “jangan nyesel, ya! Tadi kalian udah gue kasih kesempatan emas.” Kata cakka pada adik-adik kelasnya yang malah nyengir kuda.

Cakka ikut tersenyum, tapi lantas menatap galak adik-adiknya itu.

  “tunggu apa lagi kalian? Pemanasan!”

Anak-anak tersentak, lalu buru-buru berbaris. Goldi sebagai komandan segera turun tangan untuk merapikannya.

Cakka menghela nafas, lalu duduk dibangku kebesarannya yang berada dibawah pohon seperti biasa. Matanya segera menerawang begitu menatap tongkat baseballnya. Iel dan yang lain saling lirik resah.

Ray buru-buru mengambil tongkat itu.
  “sini, bos. Gue bersihin”

Cakka membiarkan ray membersihkan tongkat itu dengan kaos olahraganya. Setelah selesai, ray mengembalikan tongkat itu.

  “gue Cakka!” kata cakka tiba-tiba. Membuat semua orang menatapnya bingung. Cakka mengangkat sudut bibirnya.
  “jangan panggil gue ‘bos’, panggil gue ‘Cakka’!”

Ray menatap cakka, lalu melirik teman-temannya. Yang sama tak tau harus bagaimana.

  “kita semua temen, kan?” Tanya cakka membuat iel mlotot. Cakka lantas melirik adik-adik kelasnya.
  “kalian juga, cukup panggil ‘cakka’ aja”

Anak-anak itu tampak sama sekali enggan.

  “okee, gimana kalo ‘kak’?” cakka mengalah, membuat anak-anak itu terlihat sedikit lega.
  “ini syarat absolute kalo kalian masih nganggep gue ketua”

Anak-anak itu lantas mengangguk pelan. ‘kak’ jauh lebih baik daripada memanggil nama seorang cakka. itupun kalau mereka mempunyai cukup alasan untuk memanggilnya.

Goldi segera mengajak mereka untuk berlari keliling lapangan. Sementara cakka memperhatikan mereka.

  “yang lemah dipisahin, yel” kata cakka.
  “kalo ada apa-apa mereka dibarisan belakang jagain cewek-cewek.”

Iel mengernyit sebentar, lalu mengangguk. Ia paham cakka sedang meikirkan kemungkinan terburuk, jika terjadi tawuran atau semacamnya.

***

Beberapa hari setelah kejadian itu, keadaan kembali seperti semula. Tidak ada tanda-tanda akan ada pembalasan dari baktipura. Cakka sendiri memang sudah mempersiapkan semuanya. Tapi hingga saat ini sepertinya masih aman-aman saja.

Keadaan sekolah sore itu sudah sepi. Cakka menggunakan kesempatan itu untuk mencuci kemejanya yang entah berapa hari tidak ia bersihkan. Cakka tidak tau sudah berapa lama ia tidak kembali ke rumahnya. Ia sudah muak dengan semuanya. Bahkan ia tidak pernah berharap ayahnya akan mencarinya, sedikitpun tidak pernah.


Langkah Alvin terhenti saat melihat pemandangan didepannya. Cakka tampak sedang duduk didepan gudang peralatan olahraga dengan hanya mengenakan singlet. Pandangannya seperti kosong. Didepannya, sebuah kemeja terjemur diatas seutas tali yang terikat diantara dua batang pohon.

Alvin menghela nafas. Bebannya kini sedang berada tepat didepannya. Alvin lantas menghampiri cakka dengan hati-hati.

  “kka…”

Cakka mendongak, lalu terpaku saat melihat Alvin sudah berdiri disampingnya. Tanpa banyak berpikir, cakka segera bangkit dan meraih kemeja dari jemuran. Kemeja itu ternyata masih basah. Cakka berdecak kesal, lalu mengibaskan kemeja itu tak sabar.

  “lo… kapan mau balik ke rumah?” Tanya Alvin yang tengah memperhatikan tingkah cakka saat itu.

Cakka menghela nafas, lalu mengenakan kemeja basah itu. Ia mungkin akan masuk angin, tapi lebih baik begitu daripada berlama-lama dengan Alvin. Cakka lantas meraih ransel, bermaksud pergi. Tapi tau-tau Alvin menahan lengannya. Cakka menatap tangan Alvin, lalu menatap matanya tajam.

  “gue rasa kita harus selesein masalah kita, kka” kata Alvin membuat mata cakka berkedut.
  “kalo lo mau gue bersujud didepan lo, gue lakuin sekarang juga” lanjut Alvin.

Cakka menatap Alvin lama, lalu membuang muka sambil mendengus. Ia lantas menepis tangan Alvin dari lengannya, tapi menolak menjawab.

  “gue gak tau lagi apa yang bisa bikin lo maafin gue, kka” ucap Alvin.

Cakka meneguk ludah, berpikir untuk beberapa saat. Tapi percuma. Hatinya sudah terlanjur membenci Alvin sejak kejadian itu.

  “gue kan udah bilang, lo mati pun gak bakal bisa nebus kesalahan lo!” ucap cakka yang hendak berlalu. Alvin tak berkedip untuk beberapa saat.

  “tapi kenapa? Gue sebejat itu dimata lo? Sampe gue mati pun lo tetep gak bakal maafin gue?”

Cakka menghentikan langkahnya. Terdiam sejenak. Lantas ia berbalik dan menatap Alvin.

  “andai lo jadi gue, vin. Gue yakin lo gak bakal bisa maafin orang yang udah ngerebut kebahagiaan elo. Begitupula dengan gue” tandas cakka. Alvin mngerutkan keningnya.
  “gue tau, ayah emang selalu mengandalkan elo dan lebih utamain lo dibanding gue. Tapi buat gue itu gak masalah, karna gue punya bunda yang selalu dengerin gue” ucap cakka yang hampir tak berkedip memandang Alvin.
  “dan saat ayah sama bunda pisah, gue sama sekali gak nyesel. Asalkan gue yang ikut bunda. Dan lagipula ayah lebih milih lo untuk tetap tinggal bareng dia” lanjut cakka. Alvin terus mendengarkan dan menerka dimana letak kesalahannya.
  “buat gue, itu juga gak masalah. Tapi kenapa lo masih tega ngerebut bunda dari gue? Ngerebut satu-satunya orang yang sayang sama gue?” kata cakka yang semakin menatap tajam mata Alvin. Seolah menegaskan bahwa semua itu adalah kesalahan Alvin.
  “bunda? Gue…” ucapan Alvin terputus. Nafasnya tersendat.
  “kalo aja waktu itu lo gak nyuruh bunda ke Jakarta, bunda gak akan pernah kecelakaan! Ini semua emang salah lo, vin!” kata cakka nyaris tak bisa mengontrol emosinya. Alvin menggeleng tak percaya.
  “gue… gak bermaksud ngerebut bunda dari lo. Waktu itu gue Cuma mau ayah sama bunda hadir diacara kelulusan gue, kka. Dan gue juga gak nyangka kalo akhirnya bunda akan kecelakaan” jelas Alvin. Cakka tersenyum sinis.
  “lo pikir Cuma lo doang apa? Lo gak mikir kalo waktu itu gue juga lagi kelulusan?” Tanya cakka. Alvin terdiam.
  “gue gak kaya lo, vin! Gue gak pernah minta ayah dateng buat gue  dan ninggalin elo, seperti elo yang minta bunda dateng buat lo dan ninggalin gue!!” ucap cakka.

kini Alvin tau mengapa cakka begitu membencinya. Ia sadar ia begitu egois. Tapi apa salah saat seorang anak ingin ditemani ‘kedua’ orang tuanya? Mungkin semua itu tidak salah. Tapi kini Alvin sadar. Keinginannya tidak ia letakkan pada posisinya saat itu. Ia lupa akan keadaan cakka. Saudara, tepatnya adalah adiknya sendiri. Ini memang keterlaluan. Tapi apa yang bisa ia lakukan saat itu? Perasaan siapa yang harus ia pikirkan? Dia memang terlalu lugu untuk menyadari semua diusianya saat itu.

Alvin sadar cakka begitu kehilangan bunda, sama halnya dengan dia. Kepergian bundanya telah mutlak jadi kesalahannya dimata cakka. Dan Alvin tidak tau harus bagaimana. Mempertanggung jawabkan kesalahannya terhadap cakka.

  “gue minta maaf kalo gue egois. Gue gak pernah mikirin perasaan lo. Tapi satu hal, gue gak pernah berniat bikin bunda jadi pergi untuk selamanya dan ninggalin elo. Dan asal lo tau kalo elo adalah orang pertama yang kehilangan bunda, maka gue orang kedua setelah lo” ucap Alvin. Cakka terdiam kembali.

Apakah cakka terlalu menuntut Alvin? Apakah cakka tidak menyadari akan adanya takdir didunia ini? Tapi ia benar-benar tidak rela saat bundanya, satu-satunya orang yang menemaninya pergi dan memilih untuk memenuhi permintaan Alvin saat itu. Apakah sekarang dia yang egois? Selama ini apakah benar-benar cakka yang egois telah menuduh Alvin yang bersalah? Tapi kalaupun Alvin minta maaf, tidak akan pernah membuat bundanya kembali, bukan? Pikirannya kini sama sekali tidak sinkron dengan hatinya.

  “kalo gue gak mau maafin lo, apakah egois itu sekarang ada didiri gue? Karna kenyataannya, meskipun bunda pergi karena takdir, gue masih belom bisa maafin lo” ucap cakka. Alvin menatap cakka tak percaya.
  “kka…”

Cakka sudah keburu berbalik pergi, meninggalkan Alvin yang hanya bisa termangu. Cakka menghela nafas dan melangkahkan kaki yang terasa berat. Sambil menatap ujung sepatunya.

Walaupun sebagian hatinya ingin memaafkan Alvin. Tapi sebagian hatinya lagi masih tidak mau menerimanya. Cakka juga tidak tau mengapa ia bersikap seperti itu. Yang jelas, ia masih belum rela dengan kenyataan bundanya hingga sekarang.

Langkah cakka terhenti. Didepan sepatunya, ia melihat ujung sepatu lain. Sepatu kets putih dengan tali merah jambu. Cakka mengangkat kepala, lalu mendapati agni sudah ada dihadapannya, tersenyum seperti malaikat.

Cakka tidak pernah berharap kehidupannya kembali normal, setelah semua yang terjadi. Tapi tiba-tiba dua orang yang sangat ia sayangi membuat semuanya terasa mungkin. Satu sudah tidak bisa digapai. Satu lagi berada tepat dihadapannya.

Cakka mendekati agni lalu meletakkan dahinya diatas bahu anak perempuan itu.

  “sebentar aja” gumam cakka sambil memejamkan mata. Ia sangat ingin menangis. Tapi ditahannya.

Tau-tau cakka merasakan belaian lembut dikepalanya. Belaian yang tidak pernah ia dapatkan dari siapapun setelah bundanya pergi dari hidupnya. Cakka terpaku untuk beberapa saat, lalu air matanya menetes begitu saja tanpa bisa ia tahan lagi.

Agni merasakan cakka menangis dibahunya. Agni tau, beban cakka terlalu berat untuk ditanggungnya sendiri. Dan agni harap cakka bisa membaginya walaupun sedikit.

Agni menyodorkan sebotol air mineral pada cakka, yang menerimanya tanpa semangat. Agni menatap anak laki-laki itu ragu, lalu duduk disampingnya. Mereka sekarang sedang berada dihalte bus dekat sekolah.

Tadi agni membiarkan cakka menangis tanpa bertanya apapun. Sampai sekarang pun, cakka belum bicara apa-apa. Agni tidak akan memaksanya bercerita jika memang ia tidak ingin.

  “lo…” kata cakka yang membuat agni berjengit kaget. Agni menoleh dan menatap cakka yang tampak menerawang.
  “lo pasti mikir gue pendendam dan egois banget kan, karna gue gak mau maafin Alvin?”

Agni mengerjapkan mata. Baru kali ini ia mendengar kata ‘alvin’ terucap dari mulut cakka. Biasanya dia menyebutnya dengan sebutan ketua osis.

Agni mengangguk pelan.
  “tapi gue bisa paham. Pasti berat banget kehilangan satu-satunya orang yang lo sayang”

Cakka mendesah lalu menggeleng.
  “sebenernya baru-baru ini gue mau maafin dia. Tapi gatau kenapa masih gak bisa”

Agni menatap cakka tak percaya.

  “gue masih mau ngerasain kehadiran bunda gue, ag. Walopun itu gak mungkin. Sekalipun Alvin minta maaf sama gue, bunda gak akan balik” ucap cakka.
  “tapi kka, ini semua kan udah takdir. Gak sepenuhnya salah Alvin” ucap agni. Cakka tersenyum getir.
  “mungkin gue terlalu bodoh menyalahakan Alvin. Tapi…” cakka menghentikan kalimatnya lantas menghela nafas berat.
  “gue gak tau, ag” lanjutnya.
  “kka, gue yakin dengan kepergian bunda lo, bukan Cuma lo aja yang kehilangan. Tapi Alvin juga. Kalian berdua bersaudara, kan? Itu artinya, bunda lo pasti bunda Alvin juga. Lo gak bisa nyalahin orang yang seharusnya gak lo salahin. Gue mungkin emang gak ngerti posisi lo gimana, tapi gue percaya lo bisa berpikir jernih dan nempatin posisi lo dengan baik” ucap agni sambil tersenyum.

Cakka lantas menatap agni nanar.

  “apa gue yang salah, ag? Apa gue yang terlalu egois nyalahin Alvin?” tanyanya, membuat senyuman agni meredup dan berganti mengginggit bibir mungilnya.
  “kayanya emang gue yang salah” lanjut cakka.

Cakka memijat dahinya yang mendadak nyeri. Agni bingung bagaimana harus menghiburnya.

  “disaat gue kehilangan bunda gue dan mengharuskan gue ikut ayah gue, gue bener-bener gak terima. Gue serasa kehilangan kebahagiaan gue. Hati gue bener-bener marah saat itu. Apalagi setiap liat ayah gue yang selalu ngebanggain dan ngebelain Alvin. Itu emang sejak dari dulu. Gak masalah kalo masih ada bunda gue. Tapi begitu bunda gue pergi, gak ada satupun yang belain gue. Dan sejak saat itu hati gue bener-bener ngeyakinin kalo ini semua Alvin yang bersalah” ucap cakka sambil menerawang.

  “Alvin emang gak pernah ngerti salah dia apa sama gue. Tapi dia selalu minta maaf. Dulu baik Alvin maupun gue, mungkin emang sama-sama belum bisa berpikir dewasa. Tapi setelah kejadian itu, bukannya dewasa tapi gue malah jadi sensitive. Sedangkan Alvin berbanding terbalik dengan gue. Dia selalu nanya salah dia apa. Dan dia selalu minta maaf tanpa ia tau kesalahannya”

Cakka lantas menengadahkan kepalanya berharap air matanya tidak jatuh. Tapi percuma.

  “gue harusnya seneng karna bisa bikin dia ngerasa bersalah. Balas dendam karna dia udah ngerebut kebahagiaan gue. Tapi ternyata…”

Agni meraih bahu cakka yang mulai berguncang. Dan membiarkan kepala anak laki-laki itu sekali lagi bertumpu dibahunya.

  “balas dendam itu ngga akan menyelesaikan masalah, kka. Balas dendam itu Cuma akan menimbulkan dendam baru yang gak akan ada habisnya.” Agni membelai rambut cakka. Agni hanya bisa merasakan cakka mengangguk tanpa menjawab.
  “gue yakin, bunda lo pasti gak mau ngeliat lo sama Alvin musuhan. Apalagi kalo ternyata elo yang gak mau maafin Alvin. Bunda lo pasti kecewa sama lo” ucap agni.

Cakka kembali menerawang, memikirkan kemungkinan itu. Bukannya ia tidak mau, tapi ia tidak tau apa yang harus dilakukannya.

  “lo bisa mulai dengan pulang kerumah lo” agni membantu, membuat cakka menatapnya seolah mendapat pencerahan.

Agni lantas nyengir jail, membuat cakka mencubit pipinya.

  “abis ini gue pulang” cakka mengacak-ngacak rambut agni. Agni menatapnya lekat-lekat.
  “makasih ya, kka” kata agni membuat cakka mengernyit.
  “makasih karna udah percaya sama gue dan berbagi baban lo”

Cakka menatap agni lama, lalu menggeleng.
  “gue yang harus berterima kasih sama Tuhan, karena masih baik sama gue dan ngirim gue malaikat kaya lo”

Agni melongo selama beberapa saat, lalu segera memukul lengan cakka sambil tertawa grogi.

  “ah! Kok jadi gombal gitu sih!” pekiknya malu sambil memegang kedua pipinya yang memanas.

Cakka nyengir melihat kelakuan anak perempuan itu, lalu menghela nafas dan menatap bulan purnama yang bersinar cerah dilangit kelam. Hari ini, untuk pertama kali dalam beberapa tahun hidupnya, ia bisa menikmati keindahan pemandangan itu.

Sekarang ada yang harus ia lakukan dan tak bisa ditunda-tunda lagi.
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, otak cakka sibuk berpikir. Sebenarnya apa yang akan dilakukannya nanti, cakka benar-benar bingung. Ketika hampir sampai didepan rumahnya, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan keluar dari gerbang rumahnya dan melaju kencang. Cakka mengerutkan alisnya. Itu mobil ayahnya. Tapi cakka hafal watak ayahnya, ayahnya bukan tipe pengemudi seperti itu, begitupula dengan Alvin. Tapi siapa yang baru saja keluar dari rumahnya?

Cakka menghentikan motornya tepat didepan gerbang yang baru saja ditutup oleh satpam rumahnya. Ia membuka helm yang dikenakannya. Ia masih menatap mobil sedan yang sudah hilang dari pandangannya.

  “den, cakka? kemana aja? Kok baru pulang ke rumah?” Tanya pak satpam. Cakka menoleh.
  “yang tadi siapa, pak?” Tanya cakka tak menghiraukan pertanyaan sebelumnya.
  “itu… tuan, den”
  “ayah? Kok buru-buru?” Tanya cakka.
  “iya. Mau bawa den Alvin ke rumah sakit”
  “rumah sakit? Alvin? Kenapa?”
  “bapak kurang tau, den. Yang jelas tadi den Alvin pingsan dikamarnya” jawab pak satpam. Cakka terdiam.

Nafasnya sedikit tersendat. Memangnya Alvin sakit? Sakit apa? Selama ini cakka tidak pernah melihat Alvin mengeluh sakit. Dengan gerakan cepat, ia segera mengenakan kembali helmnya dan melajukan motornya. Yang ada dipikirannya sekarang adalah menemui ayahnya dan juga Alvin.


Langkah cakka terhenti begitu ia melihat seseorang sedang berbicara dengan seorang dokter didepan ruang ICU. Dia tau orang itu siapa. Itu adalah ayahnya. Wajah ayahnya terlihat sangat kusut. Samar-samar ia mendengar apa yang sedang dibicarakan ayahnya.

  “apa tidak ada cara lain lagi untuk menyelamatkan anak saya, dok?”
  “selama ini, Alvin sudah melakukan berbagai tahap pengobatan. Tapi, itu tetap tidak bisa menolongnya. Transplantasi hati mungkin adalah satu-satunya pilihan terakhir.” Ucap dokter kemudian berlalu membiarkan lawan bicaranya tadi untuk berpikir.

Cakka melihat ayahnya mengusap wajahnya. Ia tau, sepertinya itu adalah masalah berat. Kembali ia langkahkan kakinya. Menghampiri ayahnya yang kali ini tengah terduduk.

Ayah cakka mendongak begitu melihat sepasang sepatu usang yang hampir tak dikenalinya berdiri tepat dihadapannya. Ia benar-benar tidak percaya saat mendapati cakka yang tengah mengenakan seragam SMA yang terlihat lusuh kini sedang menatapnya nanar. Kemudian ia pun berdiri menyambut kedatangan anaknya dengan tatapan datar.

  “maafin cakka” ucap cakka serak. Ayahnya masih terdiam.
  “cakka minta maaf kalo selama ini nyusahin ayah. Cakka emang gak pantes jadi anak ayah” lanjut cakka tertunduk lesu.

Cakka tidak tau lagi apa yang harus dikatakannya sekarang. Ia hanya ingin meminta maaf kepada ayahnya dan juga Alvin. Tapi saat ini ia tidak menemukan Alvin. Ia hanya mendapati ayahnya. Tiba-tiba saja ia merasakan tangan ayahnya menarik tubuhnya kedalam dekapan ayahnya.

  “ayah juga minta maaf. Selama ini ayah memang tidak pernah mengerti perasaan kamu. Ayah minta maaf!” ucap ayahnya sambil terus memeluk anaknya. Cakka mengangguk pelan. Entah kenapa ia bisa memahami semuanya. Lalu ayahnya melepas pelukannya dan mencengkram kedua bahu cakka.
  “kamu dan alvin, adalah anak ayah! Kalian berdua adalah jagoan ayah!!” tegas ayahnya. Cakka terdiam sejenak. Lantas ia tersenyum dan kembali mengangguk. Kemudian ayahnya mengacak-ngacak rambut cakka dengan lembut. Sudah lama ia tidak melakukannya. Kehadiran cakka membuat ayahnya sedikit lebih tenang. Setidaknya bebannya sedikit berkurang.
---
Alvin terbangun dan memandangi kesekelilingnya. Sejak kapan ia berada disini? Hatinya terus bertanya. Lantas ia mengedarkan pandangannya hingga akhirnya mendapati cakka tengah tertidur disofa. Alvin benar-benar tidak menyangka ia akan melihat hal itu.

Perlahan cakka pun membuka matanya. Alvin masih tetap menatapnya heran. Cakka menguap sebentar lalu mengusap kedua matanya dengan telapak tangan. Dia sedikit terkejut melihat Alvin yang sedang menatapnya saat itu.

  “gue…” ucap cakka terputus.
  “gue… baru tau kalo elo sakit” lanjut cakka. Alvin tersenyum tipis.
  “udah lama”
  “kenapa lo gak pernah bilang?” Tanya cakka. Alvin malah tersenyum geli mendengarnya.
  “emangnya dulu lo mau dengerin gue?” Tanya Alvin balik. Cakka sedikit salah tingkah. Ia tidak sadar telah menanyakan hal itu mengingat bagaimana dulu sikapnya terhadap Alvin.
  “gue… maafin gue, vin!” ucap cakka.
  “bukannya seharusnya gue yang minta maaf?” ucap Alvin. Cakka terdiam.
  “maafin gue, kka!” lanjutnya.
---

Cakka tersentak begitu seorang suster membangunkannya. Ia melirik kearah tempat tidur Alvin, dia masih belum sadar. Ternyata cakka hanya bermimpi. Ia menghela nafasnya yang terasa berat dan melangkahkan kakinya kearah wastafel, lantas membasuh mukanya.

  ‘mungkin transplantasi hati adalah satu-satunya pilihan terakhir’

Kalimat itu kembali terngiang ditelinga cakka. Entah kalimat macam apa itu. Ia tidak mengerti.

***
  “gimana? Udah baikan?” Tanya agni saat mereka sedang berjalan beriringan menuju pintu kelas. Cakka menoleh. Sejak jam pertama dimulai hingga jam terakhir, cakka sama sekali tidak mengucapkan apapun pada agni. Ia hanya sibuk berkutat dengan bukunya. Agni tau, pasti anak ini sedang memikirkan sesuatu.
  “Alvin sakit” ucap cakka.
  “sakit apa?” Tanya agni. Cakka menggeleng.
  “alvin harus dapet transplantasi hati. Gue gak ngerti maksud tuh dokter apaan?” ucap cakka. agni memandangnya tak percaya.
  “maksud lo Alvin menderita sirosis?” Tanya agni. Cakka hanya menghela nafas berat.
  “gue mesti balik ke rumah sakit sekarang, ag. Buat pastiin semuanya gak bakal seburuk yang gue bayangin.” Ucap cakka. agni tersenyum.
  “Alvin bakalan baik-baik aja. Lo mesti yakin, kka” ucap agni menyemangati. Cakka memberikan seulas senyum pada agni.

  “WOY!! MAU APA LO?!!”

Agni tersentak saat mendengar teriakan seseorang. Bulu kuduknya langsung meremang. Sudah begitu lama ia tidak mendengar bentakan seperti itu.

Mereka langsung berlari kearah lapangan, yang sudah dipenuhi kerumunan teman-temannya. Anak-anak perempuan nampak merapat dibelakang. Cakka menyeruak kerumunan itu, lalu terperanjat saat melihat apa yang ada dihadapannya.

Segerombol anak laki-laki berseragam SMA urakan masuk dari ceruk sekolahnya, bersenjata potongan besi dan kayu dengan mata berkeliaran buas.

  “cakka, keluar lo!!” seru anak yang berjalan paling depan.

Cakka menatap gerombolan itu nanar. Lalu melangkah maju. Waktunya sudah tiba.

  “kka!” seru anak-anak lain, tapi cakka tak mendengar.

Ia berdiri gagah diantara dua kerumunan besar itu dengan kedua tangan didalam saku celana.

  “gue cakka” ucapnya dingin.
  “ada perlu apa?” lanjutnya.

Anak tadi tidak menjawab. Mereka tau-tau menyingkir. Membiarkan seseorang lewat. Dan cakka tidak terkejut saat melihat sion muncul dengan tampang garang. Cakka lantas tersenyum sinis.

  “belom bisa ngomong, lo? Nyuruh orang lain ngomong?”

Sion tidak menjawab. Rahangnya yang bergeser membuatnya tak bisa bicara selama beberapa waktu. Ia hanya menatap cakka sebengis yang ia bisa. Cakka balas menatapnya geli. Kalau mereka berulah lagi, kali ini cakka akan membuatnya tak sanggup berdiri.

Sion tau-tau tersenyum licik. Ia mengedik pada anak buahnya, lalu beberapa saat kemudian mereka menyeret sesuatu dan mengempaskannya ke tanah didepan cakka. Cakka harus menyipitkan mata untuk menyadari apa, atau siapa yang tersaruk dihadapannya.

  “kak…”

Hening beberapa saat hingga terdengar suara seorang perempuan menjerit, menyadari apa yang sedang terjadi.

Kevin, dengan keadaan tangan dan kaki terikat dan wajah berlumuran darah meringkuk gemetar di kaki cakka. Cakka menatap adik kelasnya itu tak percaya, lalu perlahan mengangkat kepalanya untuk menatap buas sion. Sion malah tersenyum penuh kemenangan sementara anak-anak buahnya tertawa.

Cakka menoleh pada ray yang segera mengangguk dan melesat kedalam sekolah. Tak lama kemudian, ray muncul dengan membawa tongkat baseball kebesaran cakka. Anak-anak berjengit saat melihat tongkat itu muncul lagi setelah sekian lama tersimpan manis dipojok kelas.

  “kka!” seru agni. Tapi cakka tak peduli dan meraih tongkat itu.

Anak laki-laki sudah bersiap maju saat cakka menahan mereka dengan tongkatnya.

  “gue bisa sendiri!” kata cakka membuat anak-anak itu melotot. Cakka balas menatap mereka.
  “kalian jaga anak-anak lain aja” lanjutnya.

Iel menatap cakka tak percaya, tapi tak menentang perintahnya. Mereka membuat pagar didepan anak-anak perempuan sambil mengawasi cakka.

Cakka menenteng tongkat itu dibahu. Lalu melangkah pelan kearah gerombolan didepannya. Tidak seperti kemarin. Kali ini cakka akan benar-benar menghabisi mereka sampai tidak tersisa.

Tau-tau sion dan gerombolannya membuat gerakan mencurigakan. Mereka tampak menyingkir dari ceruk. Detik berikutnya muncul tiga laki-laki lain dari sana. Tampangnya lebih garang dari sion, tidak memakai seragam dan ketiganya tampak penting.

  “Lo pasti Cakka!” seru seseorang yang tidak cakka kenal.

Cakka tidak menjawab. Otaknya sibuk berpikir, dimana sebelumnya ia pernah mencari gara-gara dengan orang-orang ini. Tapi tidak ada ingatan apapun tentang mereka. Tiga laki-laki didepannya ini benar-benar asing.

  “berkali-kali gue tantangin, lo gak pernah dateng” kata laki-laki lain gusar, membuat cakka terkesiap.
  “dan ternyata bukan Cuma gue aja. Emangnya lo apa, hah? Dewa?” bentaknya.

Cakka meneguk ludah, sadar betul situasi ini. Tiga orang dihadapannya adalah ketua-ketua geng yang pernah ditolaknya. Demi membalas dendam ternayata mereka menggabungkan kekuatan.

  “denger…”

Anak-anak didepannya sekarang bersuit sebelum cakka menyelesaikan kata-katanya. Dan cakka tau itu bukan pertanda baik. Benar saja, detik berikutnya belasan anak-anak lain dengan berbagai macam senjata ditangan masuk melalui ceruk sekolahnya. Sekarang jeritan teman-teman perempuannya semakin keras.

Cakka mentap nanar sekitar lima puluh anak dihadapannya. Ia tidak mungkin sanggup mengatasi lima puluh anak sekaligus. Tapi ia akan berusaha. Ini adalah masalah yang ia buat sendiri. Ia tak akan melibatkan siapapun.

Tau-tau cakka merasa bahunya ditepuk. Cakka menoleh, lalu melongo saat mendapati iel sudah ada disampingnya. Dibelakangnya teman-teman lain sudah bersiap-siap. Ray dan Goldi tampak sibuk melemaskan otot leher dan jari.

  “anak perempuan…”
  “liat kebelakang!” potong iel membuat cakka menoleh lantas terpaku saat melihat beberapa anak laki-laki kelas sepuluh dan sebelas membuat semacam pagar didepan anak-anak perempuan.
  “mereka ternyata ada dibelakang sekolah dari tadi, belum pulang” ucap iel lagi.

Cakka lantas menatap kearah anak-anak perempuan yang sibuk membantu Kevin melepaskan ikatannya.

  “hei! ada apa ini?”

Semua mata sekarang terarah pada para guru yang baru keluar dari gedung sekolah.

  “siapa kalian? Sana pergi! Atau saya panggil polisi!!” seru bu Ira pada gerombolan itu.
  “panggil aja! Sebelum mereka dateng, kalian semua udah abis!!” salah satu pimpinan geng balas menyeru.

Semua orang sekarang sudah menjerit ketakutan. Para guru sibuk menelpon dan menenangkan murid perempuan.

Cakka tau, bangunan sekolahnya yang hanya punya satu jalan untuk keluar suatu saat akan membuat mereka dalam masalah besar. Dan saat inilah tepatnya.

  “kalian Cuma perlu sama gue, kan? Jangan sentuh siapapun selain gue!!” seru cakka geram.

Gerombolan itu tertawa mengejek. Beberapa dari mereka malah ada yang meludah secara terang-terangan.

  “gue gak diperintah sama bocah kaya lo!!” kata salah satu pimpinan geng itu dingin. Ia lantas melirik anak buahnya.

Sesuai komando, beberapa anak laki-laki mulai maju menyerang. Cakka berdecak lalu tanpa menunggu apapun ia mengayunkan tongkat baseballnya kearah laki-laki yang pertama sampai. Laki-laki itu terbanting keras ke tanah, pelipisnya memuncratkan darah segar.

Selama beberapa detik, gerombolan itu terpaku menyaksikan laki-laki itu mengerang kesakitan. Detik berikutnya amarah mereka tersulut. Mereka menatap cakka buas seolah bisa menelannya hidup-hidup.

  “ini saatnya” gumam cakka. cengkraman pada tongkat baseballnya mengeras.
  “jangan biarin mereka nyentuh sekolah kita!” teriak cakka.

Teman-temannya mengangguk dengan wajah penuh determinasi. Cakka menatap iel lalu kembali menatap gerombolan marah didepannya.

Satu detik berlalu. Dua detik. Tiga detik.

  “SERAAAAANNNNGGG!!!!!” seru pimpinan itu, membuat jantung cakka terasa mencelos.

Apa yang terjadi selanjutnya persisi seperti apa yang dilihatnya dalam film. Rombongan besar laki-laki dengan adrenalin mengalir deras berlari sekuat tenaga kearahnya. Lalu tanpa ampun, mereka mulai memukul apa yang mereka lihat secara membabi buta.

Apa yang terjadi disekitarnya berlangsung cepat. Teriakan, jeritan, erangan, semua bercampur menjadi satu. Hampir semua berseragam putih abu-abu. Cakka hampir kesulitan membedakan mana teman dan lawannya. Dikejauhan ia bisa melihat iel menghabisi tiga orang sekaligus.

Tau-tau cakka merasa sesuatu menghantam kepalanya. Cakka mengusap kepalanya lalu mengernyit saat melihat darah ditelapak tangannya. Ia berbalik lalu matanya melebar saat melihat beberapa laki-laki mulai melemparinya batu dari pinggir lapangan.

Cakka berlari sekuat tenaga kearah pelempar batu, lalu menghabisinya satu persatu. Saat cakka sedang menginjak tangan salah satu pelempar, ia menyadari kalau ia sekarang sudah terkepung.

Cakka mengangkat kepala, lalu menatap kesekelilingnya nanar. Empat ketua geng termasuk sion sudah mengelilinginya. Cakka berdecak. Mereka sengaja melempar batu agar ia terpisah jauh dari kelompoknya.

  “oke, gue bakal ladenin kalian semua! Mulai dari siapa?” kata cakka mengayun-ayunkan tongkat baseballnya.
  “pertama, lo liat ini dulu!” jawab salah satu dari mereka sambil mengedikan dagu kearah ceruk.

Lutut cakka serasa lemas saat melihat apa yang dilihatnya. Sekitar dua puluh laki-laki bertampang preman muncul dari sana dengan persenjataan yang sama. Mereka segera berlari penuh semangat kearah perempuan dan guru yang segera masuk gedung untuk berlindung.

Cakka melangkah bermaksud untuk mencegah gerombolan baru itu. Tapi dadanya ditahan oleh balok kayu.

  “urusan lo disini!” kata sion susah payah membuat cakka menatap nanar kearah sekolahnya yang luar biasa kacau.

  “IELL!!” seru cakka sekuat tenaga. Membuat iel yang sedang menolong goldi menoleh lalu segera menyadari apa yang terjadi. Ia lantas segera melesat kearah gedung sekolah.

  “lo udah ancur, kka!!” gumam sion susah payah membuat cakka kembali menatapnya.
  “masa kejayaan lo ancur, karena kesombongan lo” lanjutnya.
  “jangan banyak omong lo! Mau gue bikin gak bisa ngomong selamanya?” balas cakka geram.
  “gue kasih!” lanjutnya.

Cakka mengayunkan tongkat, tapi sebelum ia sempat mendaratkannya ke kepala sion, rasa perih luar biasa menyayat tangan kirinya. Cakka melotot saat mendapati salah satu dari ketua geng itu sudah memegang belati.

Cakka menatap lengan kirinya yang berlumur darah dan berdenyut menyakitkan. Cakka bisa tau seberapa dalam luka itu saat merasa tangannya gemetar dan mulai mati rasa.

  “ternyata lo Cuma segini doang?” kata salah satu dari mereka mengejek.
  “tau gini gue ngga susah-susah ngundang lo. Lo sama sekali bukan ancaman. Lo Cuma raja teri!”

Empat laki-laki itu mulai terkekeh. Dan cakka mengambil waktu ini untuk mencari tau keadaan sekolahnya. Semua anak dan guru sudah terkepung dilapangan. Iel dan teman-temannya masih berusaha melawan. Tapi dimata cakka mereka sudah kalah telak.

Cakka memejamkan mata, tidak mempedulikan darah dari lengannya yang sudah mengalir deras dan menetes ke tanah.

  “gue harus ngelakuin apa supaya kalian pergi dari sini?” ucap cakka.

Empat laki-laki disekelilingnya berhenti tertawa dan menatap cakka tak percaya.

  “kalo gue bilang lo harus bersujud dan nyembah gue, lo mau?” Tanya sion. Wajahnya tampak bersmangat.

Cakka menatapnya nanar, lalu melirik teman-temannya. Sepintas, cakka bisa melihat agni yang masih merawat Kevin dan beberapa anak kelas sebelas yang terluka. Wajah aldi lantas terlintas dibenak cakka. Cakka mendengus lalu menatap sion.

  “sampe mati pun, gue ngga mau!!”

Senyum diwajah sion menghilang. Dan sebelum anak laki-laki itu sempat melakukan apapun, cakka sudah mendahuluinya dengan menonjok hidungnya hingga tersuruk ke tanah. Cakka lantas berlari sekuat tenaga menuju teman-temannya.

  “KKA! Lo ngga apa-apa?” seru iel begitu cakka berhasil bergabung.

Cakka mencengkram lengan kirinya yang sudah bergetar hebat, lalu menggeleng. Ia lantas menatap teman-temannya dan gurunya yang semakin pucat pasi saat melihat luka itu. Cakka balas menatap mereka nanar.

  “maaf, pak, bu” kata cakka serak membuat semua orang melongo.
  “maaf, semuanya” ucapnya lagi.
  “kka, saya sudah panggil polisi” kata pak duta.
  “kamu tidak usah ladeni mereka lagi, sebentar lagi polisi sampai”

Cakka menatap pak duta, lalu mengangguk pelan. Pandangannya lantas bertemu dengan agni yang sudah berlinang air mata. Cakka mendekati anak perempuan itu lantas menyerahkan tongkat baseballnya. Agni menerimanya bingung.

  “siapapun yang ngedeketin lo, jangan ragu, pukul pake itu” kata cakka membuat agni tak percaya. Cakka lantas tersenyum miris.
  “sori, ag”

Agni belum sempat bereaksi, tapi cakka sudah berbalik. Lingkaran disekeliling mereka semakin rapat. Para ketua geng sudah bergabung dengan mereka.

  “ckckck, gue terharu sebenernya” komentar salah satu ketua geng itu.
  “gue gak nyangka lo segitunya mau ngelindungi sekolah ini” lanjutnya.
  “apalagi yang harus gue lindungin kalo bukan sekolah gue sendiri?” ucap cakka membuat semua orang menatapnya.

Ketua geng itu tertawa mengejek. Cakka menggunakan kesempatan itu untuk melihat teman-temannya. Pelipis ray tampak terluka dan goldi tampak terengah-engah kelelahan, tapi semuanya masih berdiri. Iel malah terlihat nyaris tak tersentuh.

Cakka menghela nafas lega. Lalu mencoba menggerakkan jari-jari tangan kirinya. Tapi lengan itu sudah tak mau diajak bekerja sama. Cakka yakin ada ototnya yang putus.

  “sekolah begini sih gak usah lo lindungin! Isinya Cuma orang-orang pecundang yang mesti dibuang kaya sampah!!” seru ketua geng itu membuat cakka kembali mengangkat kepala.
  “apa kalian bilang? Pecundang? Kalian anggap kami sampah? Sampah bukannya ngga berguna! Sampah masih bisa didaur ulang. Sampah masih bisa jadi baik! Emangnya kenapa dengan sampah? Justru kalian yang lebih buruk dari sampah!!” seru agni tiba-tiba membuat semua orang menatapnya.
  “wooww…” komentar ketua geng itu. Takjub dengan keberanian agni. Yang lain juga ikut tertawa. Agni sendiri juga mencoba berdiri dengan susah payah. Seluruh tubuhnya gemetar.
  “kalian anggap kami sampah? Silahkan! Lantas kalian apa? Nginjak-nginjak tempat sampah? Kalian yang kurang kerjaan!” seru agni lagi membuat gerombolan itu terdiam, tidak menganggap ini lelucon lagi.

Katua geng itu baru melangkah untuk menggapai agni, tapi cakka sudah menghadangnya. Sekarang ia berhadapan dengan cakka yang seperti mendapat kekuatan baru. Kekuatan dari ucapan agni.

  “langkahin mayat gue dulu!” desis cakka.

Ketua geng itu melotot, lalu menyeringai. Detik berikutnya ia melayangkan tinju kearah cakka. Cakka dengan sigap menepisnya. Lalu balas menyikut wajah laki-laki itu sekuat tenaga. Ketua geng itu ambruk dalam sekejap.

Menganggap itu komando tak langsung, gerombolan itu kembali menyerbu dengan ganas. Cakka dan teman-temannya kembali tercerai berai. Memaksa gerombolan itu untuk tidak mendekati para murid perempuan dan guru.

Agni masih berdiri ditengah kekacauan itu. Lututnya gemetar, tapi ia berusaha untuk ikut melindungi teman-temannya. Agni sama sekali tidak tau kalau tongkat baseball seberat itu. Agni sama sekali tidak bisa mengangkatnya. Atau mungkin tubuhnya yang begitu lemas sehingga harus bersusah payah hanya untuk sekedar berdiri.

  “AGNI!! AWAS!!”

Agni tersadar lalu berbalik. Matanya melotot saat melihat ketua geng yang tadi dipukul cakka sekarang sedang berderap kearahnya, dengan belati terhunus. Agni tidak sempat mengelak. Ia memejamkan mata saat mendengar tusukan yang membuat mual.

Selama beberapa detik, agni tak mendengar apapun, tak merasakan apapun. Begitu seseorang menjerit histeris, agni baru membuka mata. Dan ia terkejut saat pak duta sudah berdiri didepannya, menerima tusukan yang seharusnya ditujukan padanya.

Agni mundur beberapa langkah saat tubuh pak duta berdebum ketanah. Ia menatap sosok itu tanpa berkedip. Seluruh tubuhnya terasa dingin dari ujung kaki hingga kepala. Detik berikutnya jeritan mencekam segera bersahutan dari segala penjuru. Semua orang kini berlari panik untuk menyelamatkan diri.

Agni masih terhuyung saat cakka muncul dan menendang ketua geng tadi hingga terpelanting. Cakka menatap tubuh pak duta nanar, lalu menarik agni menjauh, dan menghabisi laki-laki tadi. Ia lantas dikepung oleh beberapa orang sekaligus.

Agni menatap cakka yang meronta, berusaha untuk melepaskan diri. Tapi anak laki-laki itu tampak sudah tidak mampu lagi untuk melawan. Ia sudah kehabisan banyak darah.

  “agni!!” seru seseorang membuat agni menoleh. Ia melihat iel yang sedang menghadapi beberapa orang sekaligus.
  “cepet larii!!!”

Agni mengedarkan pandangan. Ia bisa melihat via yang sedang menyingkir sambil memapah Kevin bersama teman-temannya dan para guru. Agni mengangguk dan mencoba melangkah, tapi kakinya tidak bisa digerakkan. Sekuat apapun dia berusaha. Agni lantas menatap cakka yang sudah tersungkur ditanah.

Anak laki-laki itu sudah tak bisa melawan. Ia sudah lemah dan hanya pasrah saat beberapa orang menendang dan menginjak tubuhnya. Agni menekap mulut melihat cakka. orang yang paling kuat yang pernah dikenalnya, tergeletak mengenaskan ditanah, berlumuran darah.

Pandangan cakka bertemu dengan agni. Cakka berusaha tersenyum sambil menahan sakit. Mendadak kata-kata agni terngiang dikepalanya.

  ‘balas dendam itu ngga akan menyelesaikan masalah, kka. Balas dendam itu Cuma akan menimbulkan dendam baru yang ngga akan ada habisnya’

Agni benar. Dendam tidak akan menyelesaikan apapun. Selama tidak ada pihak yang menyudahi, dendam ini seperti penyakit yang akan terus menerus kambuh.

Cakka merasa kepalanya diinjak oleh seseorang. Agni dengan segera terisak saat melihatnya, genggaman pada tongkat baseballnya mengendur. Kepalanya terasa berputar dan lututnya tidak mampu lagi menopang tubuhnya. Ia jatuh terduduk ke tanah.

Agni menatap gedung sekolahnya dengan pandangan kabur oleh air mata. Beberapa bulan lalu saat pertama kali datang, ia tau ada yang aneh dengan sekolah ini. Tapi ia tak menyangka sekolahnya akan seperti ini. Berbaur dalam sebuah tragedi.

Dada agni terasa sesak. Ia kesulitan bernafas. Segala jeritan dan suara pukulan bercampur menjadi satu dengungan keras ditelinganya. Ia terhuyung, lantas ambruk ketanah. Matanya sekarang sejajar dengan mata cakka.

Dengan pandangan kabur, agni bersikeras untuk menatap anak laki-laki didepannya itu. Mereka berdua mungkin tidak akan bertemu lagi untuk waktu yang lama. Dan agni ingin melihatnya selama yang ia bisa.

Perlahan kesadaran agni menghilang. Suara dengungan itu menjadi jauh. Bayangan cakka semakin pudar. Selanjutnya, semua menjadi gelap gulita.



Agni menatap plang sekolahnya yang tampak berkarat. Lantas pandangannya bertumpu pada sebuah papan yang bertuliskan ‘Harap Tenang, Sedang Ujian!’. Beberapa bulan berlalu setelah tragedi itu. Agni menghela nafasnya yang terasa berat.

  “ayo, ag!”

Agni menoleh, mendapati Alvin yang menepuk bahunya. Disampingnya, via tersenyum padanya. Teman-temannya lantas duluan melangkah masuk keadalam gedung sekolah. Agni menatap mereka, lalu mengangguk pelan.

  “abis ujian, kita jenguk cakka, ya?” ucap Alvin sambil melangkah mengiringi agni. Agni menoleh padanya lantas mengangguk sambil tersenyum.



Kini, agni dan Alvin berjalan beriringan dengan sekotak makanan yang berada ditangan agni. Alvin membuka pintu sebuah kamar didepannya. Dari kejauhan terlihat seseorang yang tengah terduduk diranjang tempat tidurnya sambil membaca sebuah buku. Orang itu tampak belum menyadari kehadiran mereka.

Agni melirik Alvin. Alvin mengangguk pelan padanya seolah mempersilahkan masuk. Agni melangkah perlahan mendekati.

  “kka,” sapa agni. Cakka menoleh menatapnya datar. Agni takut-takut memandangnya. Lantas cakkapun tersenyum. Agni menghela nafasnya lega dan menghampirinya lebih dekat.

Tanpa berkata apa-apa, agni duduk disampingnya. Lalu meletakkan kotak makanan hello kitty dan membukanya dengan semangat.

  “gue masakin special buat lo. Pasti selama lo dirumah sakit ngga ada masakan beginian!” ucap agni.

Cakka melirik isinya. Nasi putih dan beberapa potong sosis goreng yang dibentuk gurita dan telur orak-arik, persis seperti yang pernah dibuat agni untuknya dulu.

Cakka menatap anak perempuan dihadapannya. Cakka tau, seharusnya ia tidak berharap. Tapi apakah kali ini ia boleh berharap?

  “berapa bulan kita ngga ketemu? Lo Cuma bisa bikin ini buat gue?” Tanya cakka membuat agni melongo.
  “udah mending gue bikinin!” sungutnya kesal, membuat cakka terkekeh. Anak perempuan itu masih imut seperti dulu.

Tangan kanan cakka refleks terangkat untuk mengelus kepala agni, tapi terhenti diudara. Cakka sudah akan menarik kembali tangannya saat agni meraihnya dan menggenggamnya.

Cakka masih bersyukur tangan kanannya tidak bernasib sama seperti tangan kirinya. Tangan kanannya masih bisa merasakan genggaman hangat agni. Dia juga bersyukur, kalau saja saat itu Alvin tak menolak tawarannya untuk mendonorkan hatinya, ia tidak akan menyadari betapa besar rasa sayangnya terhadap agni.

Agni tersenyum geli menatap cakka. Tiba-tiba saja ia teringat sosok cakka menurut pandangannya. Baginya, cakka itu bagaikan devil juga angel, kadang memang terlihat sangar, tapi sisi lain dia memiliki hati seperti malaikat. Setidaknya itu yang agni rasakan.

  “kenapa senyum-senyum gitu?” Tanya cakka heran. Agni menggeleng.
  “gue boleh bilang sesuatu, gak?” ucap agni.
  “apaan?”
  “gue kangen segalanya tentang lo!” kata agni tersenyum. Cakka menautkan alisnya.
  “baru juga beberapa bulan ngga ketemu, lo udah segitunya sama gue” ledek cakka.
  “ih, itu tuh lama tau! Emangnya lo ngga kangen sama gue?!” teriak agni. Cakka mengangkat kedua alisnya. Sementara agni salah tingkah, mengatupkan mulutnya lantas menutup wajahnya yang tiba-tiba merah merona.

Cakka menatap anak perempuan didepannya lama. Lantas tersenyum. Tiba-tiba ia ingin memulai kembali semuanya. Memulai semuanya, bersama malaikat manisnya.